Rabu, 25 Maret 2020

Mending Mana? PNS, Karyawan, atau Pengusaha?


Di bawah langit pagi yang mendung, kamu melangkah pelan di jalanan yang ramai. Di sekelilingmu, orang-orang berkemeja terburu-buru, bangunan-bangunan menjulang tinggi, deru mesin dan klakson mobil dan motor saling beradu.

Kamu mencoba mencari wajah bahagia di wajah orang-orang dewasa di sini, di kota yang sesak ini. Sebab, selama ini, orang-orang sering bilang tentang buruknya menjadi dewasa. Dan, kamu sedang beranjak dewasa. Tetapi, kamu ingin menemukan sisi terang dari menjadi dewasa.

Jadi, di sini, di kota yang sesak ini, kamu memperhatikan wajah orang-orang berkemeja ini, menganalisis profesi mereka dari pakaian mereka, dari cara mereka berjalan, dan apapun yang bisa kamu perhatikan. Supaya kamu tahu profesi apa yang bisa membuatmu sedikit lebih bahagia, sedikit lebih nyaman.

Ada kursi kesepian di trotoar, kamu berjalan ke situ, duduk di sana. Memperhatikan lebih jernih. Mencari satu target.

Nah, itu. Seorang pemuda, baru saja turun dari ojek. Dia mengenakan kemeja biru langit dan celana hitam ala anak kantoran. Jari-jarinya yang gemuk melepas helm, menyerahkannya kepada sang pengemudi. Lekas dia mengelap keringat di pelipisnya. Dia bahkan lupa tersenyum. Sambil mengetik sesuatu di ponsel, dia menapaki langkah berikutnya, tergesa-gesa, menuju suatu gedung.

Mungkin, dia seorang karyawan yang nyaris terlambat.
Lalu, kamu menghela napas.

Mungkin, begitu, sih, kalau jadi karyawan
Jadi kayak sekolah lagi, mungkin? Beberapa tempat mengatur jam berapa kamu masuk dan jam berapa kamu keluar. Masuk pagi, pulang malam.
Menjadi bawahan juga harus siap dimarahi bos.
Atau, dikelilingi rekan-rekan yang iri seperti di film.
Lalu, terjebak sistem yang ngga diharapkan. Nggak ada kebebasan. Nggak bisa berkontribusi penuh, tak peduli sekreatif apa pun diriku nanti.

Tetapi, kamu hanya melihat sisi buruk menjadi karyawan,

Namun, inilah sisi baiknya. Menjadi karyawan berarti kamu akan digaji setiap bulannya, dan, bagi beberapa orang, itu lebih aman. Selain itu, menjadi karyawan berarti kamu memiliki seorang atasan, yang mana kamu akan belajar banyak darinya. Yang mungkin bisa menjadi mentormu di masa depan. Menjadi karyawan mendorongmu untuk disiplin. Karena beberapa orang memutuskan bekerja secara mandiri, dan mereka terengah-engah, tak mampu mendisiplinkan diri, gagal di kemudian hari. Setidaknya, saat menjadi karyawan, kamu diawasi, kamu diberi tanggungjawab oleh atasan yang nyata, dan itu akan membuatmu berusaha lebih baik. Lalu, menjadi karyawan mengajarimu tentang berjuang dari bawah, membuatmu paham posisi-posisi orang di bawah, saat kamu sudah di atas nanti. Yang mudah-mudahan bermanfaat saat kamu punya pengaruh nanti.

Namun, aku juga harus membocorkan bagian-bagian yang tak mengenakkan dari menjadi karyawan; Kamu akan selalu terjebak sistem. Bila saja itu sistem yang tak sesuai dengan prinsipmu, dan kamu tak bisa berbuat apa-apa, selain memendam rasa bersalah. Tetapi, bisa juga kamu terjebak di sistem yang bertabrakan dengan prinsipmu. Just like anything in life, we don’t really know anything, atau, mungkin, suatu waktu, perusahaanmu akan mengalami beberapa perubahan drastis, yang menyebabkanmu harus mencari jalur lain.

Maka, di kepalamu, menjadi karyawan tetap tak enak. I can’t create my own system, I can’t choose the people I want to be with, I don’t want to give my future to the company I don’t even know it’s future, batinmu.

Jadi, kamu mencari target lain di jalanan itu.

Tepat, ada seorang laki-laki melangkah santai menuju gedung yang lain. Terlalu tua untuk disebut pemuda. Terlalu tua untuk disebut bapak-bapak. Dia melangkah dengan seragam khas PNS, sesekali melihat jam tangannya, menyapa dan tersenyum pada rekan-rekan yang mengenakan seragam yang sama.

Jadi, PNS kayaknya enak. Kerjanya santai. Lebih menjamin saat sudah tua nanti.

Namun, di satu sisi, ada jiwa muda yang ingin bebas, bertualang, dan bereksperimen dalam dadamu. Kamu tak ingin dimutasi di sana-sini. Iya, itu bagian dari petualangan dan ekperimenmu sendiri. Kamu juga tak ingin duduk diam, melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun, berdiskusi dengan orang-orang yang terlalu memuja sistem lama. So, it’s like going back to feeling trapped in s system you don’t really want to be in.

Tapi, jaminan kerjanya itu, lho. Lebih menjamin banget sampai tua.

Well, yes, ini bisa jadi strategi yang bagus untuk hari tuamu. Namun, aku juga ingin memberi satu-dua hal. PNS, sebagaimana pekerjaan-pekerjaan lain, memiliki kurang dan lebihnya. Lebihnya, kamu mungkin sudah tahu. Kurangnya juga. Tetapi, yang ingin kujadikan poin utama adalah tentang “jaminan di masa tua” dan “terjebak sistem”.

Ada sebuah pengalaman dari seorang teman yang telah menjadi PNS, mau tak mau, pada awalnya ia harus mau ditempatkan di tempat-tempat terpelosok untuk mengabdi, jauh dari keluarga, dari suami/istrinya, pekerjaan yang melelahkan dan membosankan, hal-hal yang ia keluhkan setiap hari, tapi itu lebih baik daripada hidup tanpa jaminan, pikirnya.

Sekali lagi, memilih PNS untuk mendapatkan jaminan di masa tua adalah strategi yang bagus. Namun, kita tak bisa menggantungkan harap yang penuh pada hal ini. Bukan cuma PNS. Profesi apa pun. Tak bisa kita taruhkan seluruh harap kita di sana. Sebab kita tak tahu apa yang akan terjadi sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Jika kita memang ingin menjadikan ini sebagai jaminan di masa tua, maka kita juga harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan.

Maksudku, bagaimana jika ada perubahan aturan di masa depan karena satu-dua hal yang tak terelakkan? Apakah kamu masih mau memperjuangkan ini? Atau, jaminan masa tuanya saja yang kamu kejar?

Ada pun mengenai terjebak sistem, well, kita tak pernah bisa melawan sistem sendirian. Namun, kita butuh agen-agen perubahan. Kita butuh orang-orang yang terbuka pada inovasi. Dan, jika itu ada pada dirimu, pertahankan meskipun kamu terjebak dalam kenyamanan sebuah sistem, selama sistem itu halal dan baik. Agar kamu bisa mempertahankan sisi muda dalam dirimu. Sisi muda yang ingin berkembang, yang kemudian menjadi agen perubahan bagi generasi berikutnya yang ingin berada di tempatmu hari ini. Yang mungkin akan terinspirasi banyak darimu dan inovasi-inovasi yang kamu berusaha perjuangkan sejak muda. But that’s not going to be easy. Jika kamu punya motif yang kuat nan mulia, you’ll survive, anyway.

Lalu, kepalamu mendadak rumit oleh tali-tali abstrak, menlingkar, tersimpul mati.

Kayaknya berat juga, sih, jadi PNS, kalau aku melihat lebih jauh. Apalagi alasanku cuma sedangkal dapat jaminan di masa tua.

Jadi, kamu mencari pilihan lain.

Di depanmu, ada apartemen yang menjulang tinggi.
Kamu menengadahkan kepalamu. Di satu jendela, ada tirai yang sedang dibuka.

Enak banget tuh orang, masih di rumah jam segini.

Orang tersebut, seorang pemuda berpakaian necis meski hanya dengan kaus berkerah dan jeans seadanya, melangkah menuju balkon dengan segelas cangkir yang mengeluarkan asap. Oh, dia sedang menelepon seseorang, berbicara panjang lebar dengan senyum penuh percaya diri dan kesantaian yang luar biasa. Sekitar tujuh menit di balkon, dia kembali masuk.

Dia pengusaha kali, ya? Santai banget hidupnya.
Apa aku jadi pengusaha kali, ya? Mulai kecil-kecilan aja dulu. Pakai modal seadanya. Bikin apa, ya…
Ide belakanganlah, yang penting aku udah tau mau jadi apa; Pengusaha! Aku bakal memiliki kebebasanku. Aku bisa mengatur waktuku. Aku nggak perlu diatur sistem. Aku yang membuat sistem! Gajiku juga bisa lebih besar dari karyawan-karyawan ini. Aku juga nggak perlu terjebak dalam sistem dan kerjaan yang membosankan selama bertahun-tahun. Hitung-hitung, aku juga bisa membuka lapangan pekerjaan, membantu orang-orang. Sip, yakin aku mau jadi pengusaha, titik.

Dan, si sinilah kita sekarang. Tinggal di generasi di mana orang-orang berpikir; Menjadi karyawan itu menjemukan. Menjadi PNS itu lebih menjamin. Menjadi pengusaha adalah rockstar masa kini.

Seperti anak-anak kecil yang mendambakan menjadi YouTuber, orang-orang dewasa mendambakan menjadi pengusaha.

Tidak, tidak salah, memang. Semua orang berhak bermimpi apa pun yang dia mau. Tetapi, ketika kita bermimpi, kita hanya melihat bagian enak-enaknya saja. Kita bermimpi setinggi langit, tetapi kita lupa bahwa kita tak pernah punya sayap. Kita lupa menjadi realistis.

Menjadi pengusaha tak lantas berarti kita punya kebebasan. Malah, kita terjebak oleh waktu. Tak ada jam kerja sering kali  membuat kita kerja di laur waktunya. Tak ada job responsibility di  awal, sebab sebagai pengusaha dengan modal pas-pasan, mengharuskan kita mengerjakan hampir semuanya, sendiri, sampai-sampai pekerjaan seolah tak ada habisnya, 24 jam tak pernah cukup. Tak ada gaji yang tetap di setiap bulannya meningkatkan stress kita. Belum lagi saat kita sudah memiliki bawahan yang ikut berjuang bersama kita sekaligus menanti gaji di tiap bulannya.

Yah, di awal-awal aja yang begitu. Kalau sudah stabil, bakal lebih enak.

Kalimat itu mungkin ada benarnya. Tetapi, tak sepenuhnya benar.

Katakanlah, usaha kita telah berjalan sukses. Kita telah berhasil mendaki pohon, bergantung di puncak pohon. Di sana, angin berhembus makin kencang, posisi kita sudah tinggi, tetapi, sekaligus goyah. Dan, pohon senantiasa tumbuh, semakin tinggi. Kita tak bisa terus-terusan bergantung begitu. Kita butuh mendaki lagi. Ingat bagaimana Nokia merasa telah menguasai pasar ponsel. Ingat bagaimana Fuji telah menguasai pasar kamera. Ingat bagaimana Blackberry yakin akan posisinya pada pasar smartphone. Pohon terus tumbuh. Kita tak pernah benar-benar stabil. Sedetik terlambat, bisa berpengaruh banyak hal jika usahamu sudah begitu besar.

Namun, bukan berarti menjadi pengusaha juga buruk.

Ini cuma soal menjadi realistis.

Kita sering kali bermimpi, tetapi lupa realistis. Kita bermimpi setinggi langit, tetapi kita hanya melihat awan seputih kapas,  langit biru, taburan bintang, kita bahkan menutup mata dari kilat, petir dan meteor yang bisa jatuh kapan saja.

Kita perlu realistis.

Kita hanya melihat bagian yang menyenangkan.

Dan, hari ini, kepalamu semakin pening.

Jadi, mending mana? PNS, karyawan, atau pengusaha?

Maka, aku akan bertanya kembali; Dari semua penjelasan di atas, resiko mana yang lebih berani kamu amabil? Dan, kenapa begitu yakin?

Kalau boleh berbagi, saat ini, aku pribadi memilih karyawan. Aku merasa cocok menjadi karyawan karena aku suka belajar dari orang-orang yang lebih berpengalaman. Karena aku tahu kekuranganku, aku mungkin kurang disiplin, tetapi aku punya rasa sungkan yang lebih. Sehingga aku butuh seorang partner atau atasan, merasa sungkan saaat kerjaanku belum beres, jadilah aku bersemangat dalam bekerja. Tapi, aku tidak tahu beberapa saat nanti, yang pasti, kerjakanlah apa yang bisa kamu kerjakakan, apa saja, selagi apa yang kamu kerjakan itu baik dan halal.

Jadi begitulah, kamu pun harus mengenali kekurangan dan kelebihanmu. Terkadang, untuk tahu kekurangan dan kelebihan-kelebihanmu, kamu juga butuh mengotori tanganmu, membasahi langkahmu, mencoba apa yang kamu inginkan, mengikuti alur yang ada, sekaligus berpegang teguh pada kebenaran.

Lalu, nikmati prosesnya, sepeerti kata orang-orang.

Lalu, tentukan pijakan-pijakan berikutnya, bangun sayapmu, lalu terbanglah menuju mimpimu.

Tetapi, ingat-ingat selalu; Pilihlah yang halal, pastikan benar-benar mana pekerjaan yang baik dan halal. Agar rezeki yang kamu terima berkah. Dan, supaya… hati ini juga tenang.

Dan satu lagi; “Tak ada mimpi yang sempurna di dunia yang tak sempurna ini.”


1 komentar:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
    dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.IONPK.ME (k)
    add Whatshapp : +85515373217 x-)

    BalasHapus