Minggu, 10 Maret 2019

SEBELUM MENIKAH, SEBAIKNYA KAMU...


Kita tinggal di era ketika menikah muda menjadi sebuah tren.

Tak perlu jauh-jauh, bahkan di Instagram, begitu mudah kita menemukan sepasang suami-istri memamerkan kebahagiaan mereka melalui genggaman tangan atau pelukan sederhana, seakan berkata pada dunia, “Hai, semua, kita sudah halal, lho. “Lalu, begitu banyak akun media social mengejek para jomblo, dan begitu mudahnya kita mendengar teman-teman kita berkata, “Capek, Pingin nikah aja.”

Satu hal yang ingin kuklarifikasi: Aku sama sekali tidak menentang ide menikah muda. Bahkan, dalam agamaku, Islam, itu sesuatu yang dianjurkan.

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” HR. Al-Bukhari (no. 5066)

Dan, banyak lagi dalil yang menganjurkan kita untuk segera menikah.

Dan, aku percaya bahwa apapun yang Allah dan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) perintahkan pasti ada kebaikan di baliknya; yang mungkin belum kita ketahui hari ini.

Namun, hari ini, pasangan yang telah menikah muda cenderung pada mengunggah kemesraan mereka di media social, but, please, don’t judge them. Mereka mungkin belum menyadari bahwa itu tidak selalu menjadi keputusan yang tepat. Atau, mereka mungkin mempunyai alasan tersendiri. Atau, mereka mungkin sudah bertaubat atas kesalahan tersebut, berusaha tidak mengulanginya lagi, meski beberapa kali masih gagal, dan kita tidak mengetahui taubat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu. Doakan kebaikan untuk mereka.

Beberpa kali aku mengunjungi akun Instagram pasangan yang telah menikah muda atau akun-akun media social yang sedikit terlalu berlebihan dalam mendorong pemuda-pemudi menikah muda, lalu aku membuka salah satu postingan mereka dan melihat ratusan komentar di bawahnya.

Hasilnya? Kudapati bahwa…

Beberapa orang ingin menikah semata-mata hanya karena iri, baper, berharap melihat kemesraan yang mereka lihat cuma dari luar.

Beberapa ingin menikah hanya karena usianya sudah dua-puluh sekian.

Beberapa menikah hanya karena lelah hidup sendirian, sekolah, dan kuliah.

Dan beberapa alasan klasik lainnya.


Jadi, Apakah alasanmu menikah?

Apakah kamu menikah hanya karena cinta?

Jika kamu menikah hanya Karena cinta, apakah kamu akan bercerai hanya karena tak cinta ingat, cinta itu hanya perasaan, sebagaimana kebahagiaan dan kesedihan, kadang ia datang, kadang ia pergi, jangan pernah jadikan sesuatu yang sementara sebagai alasan.

Atau, jangan-jangan kamu menikah hanya karena si calon pasangan itu? Ingat, manusia tidak hidup selamanya. Jangan jadikan calon pasanganmu, yang belum menjadi apa-apamu, sebagai pengontrol hidupmu. Dia akan bertemu mautnya, dan kau mungkin akan tinggal sendiri. Bagaimnana jadinya setelah itu? Jadi, coba pikirkan lagi, megapa kamu mau menikah?
Kau mungkin butuh referensi alasan menikah yang baik.

Alasan menikah yang terbaik:

“Menikah karena Allah. Murni karena Allah.”

Seperti, karena khawatir terjerumus pada zina dan maksiat-maksiat serupa yang mendekatkanmu pada zina.

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” HR. Al-Bukhari (no. 5066)

Atau, seperti, karena berharap menyempurnakan separuh agama.

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

Atau, seperti, karena berharap memiliki anak-anak yang shalih yang dapat mendoakanmu, yang mudah-mudahan dapat menyelamatkanmu dalam kehidupan akhirat.

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau doa anak yang shalih. “(HR. Muslim no. 1631)

Sematkan ini kuat-kuat di hatimu. Jangan hanya jadi ucapan di bibir. Mohon bantuan Allah agar niatmu menikah bisa lurus murni karena-Nya. Dan, niat yang murni karena-Nya adalah pengharapan pahala dan ampunan, yang berujung pada kehidupan akhirat yang baik.

Sekarang, mari kita bicara soal harga diri dan kewibawaan.

Sebelumya, untuk kamu yang memutuskan tidak berpacaran, tolong, jangan merasa kamu lebih baik dari mereka yang sedang berpacaran. Iya, kamu memang terselamatkan dari perbuatan yang dilarang. Tetapi jika, di lubuk hati terdalammu, kamu merasa lebih baik dari mereka, merendahkan mereka secara perseorangan, hati-hati, itu bisa berujung pada ujub dan kesombongan. Tentu, itu sama sekali tak baik.

Sekarang, poin paling penting: Kejaminannya.

Dan, di sinilah batas di mana kita menyadari:
Kita cuma manusia, apapun pilihan kita, kita tak bisa melihat masa depan, kita tidak bisa menjamin keberhasilannya.

Maka, sebelum dan sesudah kamu mengerahkan usahamu, berdoalah. Terus berdoa. Hanya kepada Allah, Tuhan Pencipta Alam Semesta, tak ada sekutu bagi-Nya.

Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah sebaik-baik Sandaran.

Dan, karena kita telah menjadikan Allah sebagai sebaik-baiknya penolong, maka ikutilah apa yang Allah peintahkan dan Rasulullah (shalallahu ‘alaihi wasallam ajarkan). Insya Allah.

Dijamin, jika kamu mengikuti aturan-Nya, Allah akan memberimu ketenangan yang Dia janjikan. Insya Allah.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. “ [QS. Ar. Ruum (30):21].


Setelah menikah, dia…

“Capek. Pengen. Nikah. aja”

Tulisan-tulisan dan kata-kata yang paling sering kita lihat dan kita dengar yang intinya: Aku lelah. Aku ingin menikah. Aku ingin hidup enak.

Kita bisa memahami itu.
Tetapi, maaf, jika kamu merasa lelah dengan tugas-tugas harianmu, lalu tiba-tiba merasa menikah adalah solusi untukmu, kurasa, kamu belum siap menikah. Jadi, kembalilah kerjkan tugas-tugasmu. Lalu, tenangkan pikiranmu. Dan, jangan melihat menikah sebagai solusi dari kelelahanmuu saat ini.
Sebab menikah bukanlah solusi dari kelelahanmu.

Kenyataannya, menikah akan semakin melelahkanmu.

Menikah, bagi laki-laki, adalah bangun pagi-pagi, melawan kemacetan demi menafkahkan sang istri dan anak-anak, berlamah lembut kepada istri dan anak-anak meskipun penat sepulang kerja.

Menikah, bagi wanita, adalah berusaha patuh kepada suami dengan baik dan benar, sepeti menyiapkan kebutuhan suami yang akan berangkat mencari nafkah, berusaha memprioritaskan waktu bersama keluarga meski sedang berkarir, menjaga kehormatannya kala ditinggal sendirian, dan mengikuti kesepakatan-kessepakatan yang telah dirundingkan dan disetujui bersama suami.

Menikah adalah menyadari, menerima, dan besabar bahwa prioritas utama sang suami adalah orangtuanya; sementara prioritas utama sang istri adalah suaminya.

Menikah, bagi laki-laki, adalah tetap berusaha adil kepada semua pihak: Orangtua yang menjadi prioritas utamanya; serta istri dan anak-anak yang menjadi tanggungjawabnya.

Menikah, bagi wanita, adalah memahami bahwa nafkah dari suamimu bukanlah untuk memenuhi keinginanmu semata, melainkan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Bisakah kamu mengelolanya dengan baik? Bisakah kamu merelakan keinginan-keinginanmu untuk membeli tas baru, kosmetik, dan sepatu baru?

Menikah adalah bersabar pada hal-hal yang tidak kau sukai dari pasanganmu.

Menikah adalah berusaha keras menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak disukai pasanganmu.

Menikah adalah senatiasa memikirkan perasaan dan kondisi pasangan di setiap keputusan yang kau ambil.

Menikah adalah menyatukan dua kepala yang berbeda, meski salah satu di antaranya harus merelakan mimpinya; sebagaimana sang suami harus rela melepas mimpinya untuk menafkahi keluarga; atau, sebegaimana sang istri harus rela melepas mimpinya untuk mewujudkan kehidupan untuk sang anak. Namun, tentu, lebih baik jika mimpi-mimpi yang direlakan tersebut mewujud mimpi-mimpi baru.

Menikah adalah memperbanyak stok maaf.

Menikah adalah menyadari bahwa misi utama syaitan adalah memisahkan kalian berdua.

Menikah adalah menyadari bahwa perasaan cinta tidak selalu hadir, lalu berusaha bertahan, dan menumbuhkan perasaan itu lagi. Sebab sebagaimana perasaan-perasaan lain; kadang cinta datang, kadang cinta pergi.

Menikah adalah berusaha saling memahami kala egois menerjang.

Menikah adalah bersabar menanti kedatangan bayi pertama.

Menikah adalah bersabar bangun di tengah malam, berulang kali, untuk bayimu yang tak henti-hentinya menangis.

Menikah adalah menjadi guru pertama bagi anak-anak yang kau lahirkan dengan penuh kesabaran; guru kehidupan dalam segala hal: belajar berbicara, belajar berkomunikasi, belajar berjalan, belajar buang air di toilet, belajar menghadapi taman baru, belajar menghadapi hari pertama di sekolah, belajar membaca, belajar menulis, belajar berhitung, belajar mengenali diri sendiri, membimbingnya ke dalam Islam, dan pelajaran-pelajaran yang tak akan habisnya ditulis di sini.

Dan, menikah adalah… hal-hal yang tak akan cukup tertulis pada sebuah buku.

Namun, lebih penting dari itu semua, menikah adalah berusaha menyelamatkan keluarga dari panasanya api neraka.

“Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa-apa  yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang deperintahkan.” [at-Tahrim/66:6]

Dan, “menyelamatkan keluarga dari api neraka” tidak sesederhana saling mengingatkan sholat.

Suami dan istri harus saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran, seperti…

Apakah kita sudah mentauhidkan Allah dengan benar?

Apakah kita sudah menyembah Allah dengan benar?

Apakah tujuan hidup kita adalah akhirat?

Apakah gerakan dan bacaan sholat mereka sudah benar? Apa buktinya?

Apakah cara berwudunya sudah benar? Apa buktinya?

Apakah sumber nafkah ini halal? Apa buktinya?

Adakah pinjaman atau pembelian yang terkontaminasi oleh riba?

Sudahkahh kita menuntut ilmu hari ini?

Sudahkah kita memperlakukan satu sama lain dengan benar?

Apakah seluruh amalan yang telah dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah? Apa buktinya?

Dan, apakah-apakah lainnya… sudahkan itu benar?

Dan, ada satu kekeliruan yang sering terjadi antara suami dan istri dalam menunaikan ibadah salat. Sang istri teramat berharap bahwa sang suami akan mengimaminya salat Magrib. Sesekali saja. Dan, sayangnya, sang suami, dengan santainya, mengiyakan ajakan istri. Padahal, sang suami, sebagai laki-laki, diwajibkan sholat di masjid, kecuali ada uzur. Sedangkan sholatnya wanita lebih utama di rumah, meski tidak dilarang jika dia ingin ikut ke masjid, asalkan dengan penampilan ang tepat.

Jadi, jika harus menyandingkan sekolah, kuliah, kerja dengan pernikahan pada suatu garis yang sama, sesungguhnya sekolah, kuliah, kerja hanyalah seluas ujung jari. Belum ada apa-apanya. Sekolah dan kuliah berujung pada kelulusan. Kerja berujung pada penerimaan gaji tiap waktunya. Pernikahan berujung pada apa?

Yaah, pernikahan tidak berujung; ia adalah ibadah seumur hidup; ia bisa jadi melelahkan; namun, orang-orang yang niatnya lurus ingin menikah semata-mata hanya karena Allah, mereka akan menikmatinya, sebagaimana mereka bisa menikmati kehidupan mereka sebelum menikah. Tentunya, dengan kenikmatan yang baik dan benar.

Dan, mereka yang ingin menikah karena lelah dan bosan dengan kondisi saat ini, tiga atau lima tahun setelah menikah, mereka akan mengeluhkan hal yang sama, “Kok gini-gini aja, ya? Duh, kok nyesel harus nikah secepat ini. Capek gini terus. Mending sendirian ajalah.”

Jadi, jika kamu masih berada di bangku sekolah dan kuliah, anggap fase ini sebagai tantangan. Kalau hal sesepele sekolah dan kuliah saja sudah mau menyerah, bagaimana menikah yang lebih rumit nanti? Apakah kamu sudah bisa bersabar pada tugas-tugas yang menumpuk? Apakah kamu sudah bisa mengelola waktumu baik-baik?

Jika kamu masih bekerja, anggap fase ini sebagai pengembangan diri sebelum berumah tangga nanti. Bagaimana kamu bersosialisasi dengan orang, bagaimana kamu bertindak professional, bagaimana kamu mengumpulkan pengalaman untuk diceritakan pada anak-anakmu kelak, bagaimana kamu menerima gaji dan belajar mengelola uang.

Tetapi, jangan melihat sekolah, kuliah, kerja pada sudut pandang menikah saja yaa…

Sebab, fase sekolah, kuliah, dan kerja tidak sedangkal itu.

Lihatlah lebih luas. Bahwa dengan ilmu yang kau miliki hari ini, bisa kau gunakan untuk memberi manfaat pada orang lain, bisa kau gunakan sebagai pengembangan dirimu secara personal, bisa kau gunakan untuk menemukan sesuatu, bisa kau jaadikan sebuah pengalaman yang kelak kau tuliskan dalam sebuah buku, yang pada akhirnya bisa kau jadikan sebagi amal jariyah.

Jangan jadikan menikah sebagai patokan.

Karena kehidupan tidak berputar pada pernikahan semata.

Bahkan beberapa meninggal sebelum menikah.

Jadi, amalkan kebaikan untuk hal yang lebih pasti dari pernikahan.

Dan, aku ingin kamu tahu: Aku menghargai dan mendukung keinginanmu untuk menikah muda, sungguh itu keinginan yang baik. Tetapi, tolong, luruskan niatmu.





Sumber:
Al-qur'an dan hadist
alvisyhrn
annisarzkaa

Minggu, 03 Maret 2019

KETIKA KAMU MERASA BERAT, BACALAH!


Mungkin ada kalanya tiba-tiba kita berhenti melakukan aktivitas, mulai merasa lelah, bingung, stress, deg-degan, merasa kenapa semakin lama kok hidup ini terasa berat sekali ya…?


Terlebih lagi, hal itu bukannya terjadi sebentar satu kali saja. Melainkan terjadi berkali-kali. Ntah harus sampai kapan selesainya.

Namun tentunya kita tak boleh berputus asa. Asal masih ada harapan, kita pasti akan baik-baik saja.
Nah, tapi, apabila bahkan Anda merasa seperti tidak ada harapan, bagaimana? Maka dari itu, cobalah Anda simak dan renungkan 8 ayat Al-Qur’an berikut ini. Insya Allah, ayat-ayat berikut ini akan membantu kita untuk senantiasa mengemban harapan, dan tetap semangat menjalani hidup ini.
Surah Al-Baqarah ayat 286: “Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya..”

Potongan ayat ini merupakan hal yang selalu saya ingat tatkala merasa kesulitan.
Dan ayat ini pula yang membuat saya tetap pede berjuang, tatkala justru keadaan dan orang-orang sekitar seperti membuat diri ini ragu, sehingga tergoda untuk menyerah.
Maka dari itu, dalam proses menjalani hidup ini, yang notabene bertaqwa kepada Allah; janganlah sekali-kali kita berkata “Aku nggak sanggup”. Apalagi mengatakan “Mustahil!” untuk memperjuangkan apa yang memang Allah perintahkan, dan Allah larang.
Toh kita kan hanya dihisab berdasarkan apa yang kita usahakan. Wilayah ikhtiar saja. Soal hasil, itu urusan Allah. Meski tentu ikhtiar kita usahakan optimal.
Maka dari itu, abaikanlah bisikan keputusasaan seperti yang dipaparkan pada paragraf pertama di atas.
Nggak ada ceritanya beban yang di luar kesanggupan kita. Semua beban pasti bisa kita pikul.
Surah Al-Insyirah ayat 5 dan 6: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

Maka penting bagi kita untuk senantiasa optimis, tatkala merasa hidup kita terasa senantiasa pula bermasalah, yang notabene sulit untuk diatasi. Betapa unggulnya seorang muslim dengan adanya dua ayat ini.
Imam al-Baghawi, Imam al-Ma’iny dan Syeikh Muhyiddin ad-Darwisy menyimpulkan dari struktur gaya bahasa di atas dengan sebuah kaidah kebahasaan, “Isim nakirah jika disebut dua kali maka yang kedua tidaklah sama dengan yang pertama. Namun, jika isim makrifat disebut dua kali maka yang kedua sama dengan yang pertama.”.
Dengan kaidah tersebut, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa setiap satu kesulitan terdapat dua kemudahan. Setidaknya bisa berupa solusi yang terbaik, dan pahala kebaikan.
Contohnya sebagaimana Rasulullah Saw mendakwahkan Islam. Padahal awalnya umat Islam ditekan, banyak dari mereka dipaksa murtad, ditindas, dihina, difitnah, diboikot, dan dizhalimi dengan berbagai cara lainnya.
Namun akhirnya, Allah mengubah mereka, sesuai janjiNya. Pada akhirnya Rasulullah Saw dan para sahabat berhasil mendirikan Negara Islam di Madinah, sehingga bisalah syariat Islam dipraktekkan 100% secara kaffah.
Kemudian pengacau-pengacau dari berbagai kalangan pun dapat disapu bersih. Seperti misalnya beberapa Bani Yahudi yang tidak senang dengan Daulah waktu itu.
Selain itu, Kota Mekkah pun akhirnya berhasil ditaklukkan. Padahal sebelumnya orang-orang kuat penduduk Mekkah menindas beliau dan para sahabat, namun kemudian semuanya tertunduk pasrah. Bahkan sebagian dari mereka ada yang melarikan diri.
Kemuliaan yang tak menjadikan beliau sombong dan lupa diri. Beliau justru memperbanyak tasbih dan istighfar, bersyukur atas kemuliaan dan kemenangan yang dikaruniakan Allah berupa mengukuhkan dan mengokohkan agamaNya di muka bumi ini, hingga wilayah Negara Islam pun senantiasa meluas terus-menerus.
Percayalah, setiap satu kesulitan ada dua kemudahan yang disiapkan Allah Swt. Kemudahan di Dunia maupun di Akhirat.

Surah Al-Baqarah ayat 216: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”


Terkadang kita hanya ingin perjalanan kita hanya enak-enak saja, tanpa ada mau masalah apapun. Meski memang keinginan tersebut tidaklah mengapa, hanya saja kita harus pastikan pula bahwa diri kita senantiasa siap apabila ada kendala yang datang. Karena bisa jadi, dengan ikhtiar kita tersebut, akan membuahkan satu atau beberapa hal yang baik bagi kita.
Menurut tafsir Imam Ibnu Katsir, “Dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal ia sangat buruk bagi kamu.” pengertian ayat ini bersifat umum dalam segala hal. Bisa saja seseorang menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu tidak mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan baginya.
Sebagai catatan tambahan, ayat ini memang berkaitan tentang jihad. Kita tidak menafikan bahwa jihad itu hukumnya fardhu ‘ain. Dan kita tidak ikut-ikutan propaganda pendistorsian makna jihad menjadi belajar menuntut ilmu dan bekerja mencari nafkah. Makna jihad secara syar’i yah perang melawan kaum kafir.
Namun, tentunya kita bisa ambil pelajaran dari hal tersebut.
Surah At-Thahaa ayat 124: “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”

Tidak menutup kemungkinan, kesulitan yang kita alami dalam kehidupan kita itu merupakan akibat dari kesalahan kita sendiri. Maka penting bagi kita untuk senantiasa mengevaluasi diri (muhasabah).
Menurut tafsir imam Ibnu Katsir, makna “berpaling dari peringatanKu”, yakni menentang perintah Allah Swt, juga menentang perintah Rasul-RasulNya. Lalu ia berpaling darinya, dan melupakannya, serta mengambil petunjuk selain darinya.

Kemudian makna “penghidupan yang sempit” adalah, baginya dan dadanya tidak lapang, bahkan selalu sempit dan sesak karena kesesatannya; walaupun pada lahiriahnya ia hidup mewah dan memakai pakaian apa saja yang disukainya, memakan makanan apa saja yang disukainya, dan bertempat tinggal di rumah yang disukainya.
Sekalipun hidup dengan semua kemewahan itu, pada hakikatnya hatinya tidak mempunyai keyakinan yang mantap dan tidak mempunyai pegangan petunjuk, bahkan hatinya selalu khawatir, bingung, dan ragu. Dia terus-menerus tenggelam di dalam keragu-raguannya.
Lalu, makna “dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”, menurut Mujahid, Abu Saleh, dan As-Saddi, adalah bahwa orang yang bersangkutan tidak mempunyai alasan kelak di hari Kiamat untuk membela dirinya.
emoga kita tidak termasuk dalam golongan yang demikian.

Surah Ath-Thalaq ayat 2 dan 3: “…Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi rezeki dari arah yang tak disangka-sangkanya.”


Menurut tafsir Imam Ibnu Katsir, barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam semua apa yang diperintahkan kepadanya dan meninggalkan semua apa yang dilarang baginya, maka Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dari urusannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Yakni dari arah yang tidak terdetik dalam hatinya.
Maka saya kira ini pun lumayan berkaitan dengan ayat sebelumnya. Ada baiknya kita senantiasa mengevaluasi diri, jangan-jangan ada perihal haram yang kita lakoni, dan perihal wajib yang belum kita lakoni; sehingga dampaknya membuat hidup kita diterjang masalah, akhirnya ntah kenapa rasanya semakin sulit, susah, resah, dan galau.

Surah Ar-Ra’d ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka.”


Imam Ibnu Katsir mengomentari potongan ayat tersebut dengan sebuah hadits qudsi yang marfu, “Rasul bersabda: Allah berfirman: ‘Demi kemuliaan-Ku, kebesaran-Ku dan ketinggian-Ku di atas ‘Arsy, tidaklah suatu negeri dan penghuninya berada dalam kemaksiatan kepada-Ku yang Aku benci, kemudian mereka berupaya mengubah keadaan tersebut menjadi ketaatan kepada-Ku yang Aku cinta, melainkan Aku akan mengubah bagi mereka siksa-Ku yang mereka benci menjadi rahmaht-Ku yang mereka sukai’.” (Dari penuturan Ali bin Abi Thalib k.w., sebagaimana diriwayatkan dari al-Hafizh Muhammad bin Utsman.)
Maka dari itu tidak ada alasan bagi kita untuk berputus asa sedetik pun. Kita harus senantiasa penuh harapan, sembari berusaha mengubah keadaan kita agar menjadi lebih baik.
Nah, begitulah 8 ayat yang harus senantiasa kita ingat. Saya pribadi senantiasa ingat ayat-ayat berikut ini tatkala merasa tidak enak dalam hidup ini.
Mesk sebetulnya memang harus kita ingat dalam keadaan apanpun; baik sedang susah, sedang senang, maupun saat sedang biasa-biasa saja.
Insya Allah pasti bermanfaat.
Wallahu a’lam bishawab