Kita tinggal di era ketika menikah muda menjadi sebuah tren.
Tak perlu jauh-jauh, bahkan di Instagram, begitu mudah kita
menemukan sepasang suami-istri memamerkan kebahagiaan mereka melalui genggaman
tangan atau pelukan sederhana, seakan berkata pada dunia, “Hai, semua, kita
sudah halal, lho. “Lalu, begitu banyak akun media social mengejek para jomblo,
dan begitu mudahnya kita mendengar teman-teman kita berkata, “Capek, Pingin nikah aja.”
Satu hal yang ingin kuklarifikasi: Aku sama sekali tidak
menentang ide menikah muda. Bahkan, dalam agamaku, Islam, itu sesuatu yang
dianjurkan.
“Jika seseorang
menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah
pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)
“Wahai para pemuda,
barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena
menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang
siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya
(sebagai tameng).” HR.
Al-Bukhari (no. 5066)
Dan, banyak lagi dalil yang menganjurkan kita untuk segera
menikah.
Dan, aku percaya bahwa apapun yang Allah dan Rasulullah
(shallallahu ‘alaihi wa sallam) perintahkan pasti ada kebaikan di baliknya; yang
mungkin belum kita ketahui hari ini.
Namun, hari ini, pasangan yang telah menikah muda cenderung
pada mengunggah kemesraan mereka di media social, but, please, don’t judge
them. Mereka mungkin belum menyadari bahwa itu tidak selalu menjadi keputusan yang
tepat. Atau, mereka mungkin mempunyai alasan tersendiri. Atau, mereka mungkin
sudah bertaubat atas kesalahan tersebut, berusaha tidak mengulanginya lagi,
meski beberapa kali masih gagal, dan kita tidak mengetahui taubat yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu. Doakan kebaikan untuk mereka.
Beberpa kali aku mengunjungi akun Instagram pasangan yang
telah menikah muda atau akun-akun media social yang sedikit terlalu berlebihan
dalam mendorong pemuda-pemudi menikah muda, lalu aku membuka salah satu postingan
mereka dan melihat ratusan komentar di bawahnya.
Hasilnya? Kudapati bahwa…
Beberapa orang ingin menikah semata-mata hanya karena iri,
baper, berharap melihat kemesraan yang mereka lihat cuma dari luar.
Beberapa ingin menikah hanya karena usianya sudah dua-puluh
sekian.
Beberapa menikah hanya karena lelah hidup sendirian, sekolah,
dan kuliah.
Dan beberapa alasan klasik lainnya.
Jadi, Apakah alasanmu
menikah?
Apakah kamu menikah hanya karena cinta?
Jika kamu menikah hanya Karena cinta, apakah kamu akan
bercerai hanya karena tak cinta ingat, cinta itu hanya perasaan, sebagaimana
kebahagiaan dan kesedihan, kadang ia datang, kadang ia pergi, jangan pernah
jadikan sesuatu yang sementara sebagai alasan.
Atau, jangan-jangan kamu menikah hanya karena si calon pasangan
itu? Ingat, manusia tidak hidup selamanya. Jangan jadikan calon pasanganmu,
yang belum menjadi apa-apamu, sebagai pengontrol hidupmu. Dia akan bertemu
mautnya, dan kau mungkin akan tinggal sendiri. Bagaimnana jadinya setelah itu?
Jadi, coba pikirkan lagi, megapa kamu mau menikah?
Kau mungkin butuh referensi alasan menikah yang baik.
Kau mungkin butuh referensi alasan menikah yang baik.
Alasan menikah yang terbaik:
“Menikah karena Allah. Murni karena Allah.”
Seperti, karena khawatir terjerumus pada zina dan
maksiat-maksiat serupa yang mendekatkanmu pada zina.
“Wahai para pemuda,
barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena
menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang
siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan
syahwatnya (sebagai tameng).” HR. Al-Bukhari (no. 5066)
Atau, seperti, karena berharap menyempurnakan separuh agama.
“Jika seseorang
menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah
pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)
Atau, seperti, karena berharap memiliki anak-anak yang shalih
yang dapat mendoakanmu, yang mudah-mudahan dapat menyelamatkanmu dalam
kehidupan akhirat.
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya
kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya,
atau doa anak yang shalih. “(HR. Muslim no. 1631)
Sematkan ini kuat-kuat di hatimu. Jangan hanya jadi ucapan di
bibir. Mohon bantuan Allah agar niatmu menikah bisa lurus murni karena-Nya.
Dan, niat yang murni karena-Nya adalah pengharapan pahala dan ampunan, yang
berujung pada kehidupan akhirat yang baik.
Sekarang, mari kita bicara soal harga diri dan kewibawaan.
Sebelumya, untuk kamu yang memutuskan tidak berpacaran,
tolong, jangan merasa kamu lebih baik dari mereka yang sedang berpacaran. Iya,
kamu memang terselamatkan dari perbuatan yang dilarang. Tetapi jika, di lubuk
hati terdalammu, kamu merasa lebih baik dari mereka, merendahkan mereka secara
perseorangan, hati-hati, itu bisa berujung pada ujub dan kesombongan. Tentu,
itu sama sekali tak baik.
Sekarang, poin paling penting: Kejaminannya.
Dan, di sinilah batas di mana kita menyadari:
Kita cuma manusia, apapun pilihan kita, kita tak bisa melihat
masa depan, kita tidak bisa menjamin keberhasilannya.
Maka, sebelum dan sesudah kamu mengerahkan usahamu,
berdoalah. Terus berdoa. Hanya kepada Allah, Tuhan Pencipta Alam Semesta, tak
ada sekutu bagi-Nya.
Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah sebaik-baik
Sandaran.
Dan, karena kita telah menjadikan Allah sebagai
sebaik-baiknya penolong, maka ikutilah apa yang Allah peintahkan dan Rasulullah
(shalallahu ‘alaihi wasallam ajarkan). Insya Allah.
Dijamin, jika kamu mengikuti aturan-Nya, Allah akan memberimu
ketenangan yang Dia janjikan. Insya Allah.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya, pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir. “ [QS. Ar. Ruum (30):21].
Setelah menikah, dia…
“Capek. Pengen. Nikah.
aja”
Tulisan-tulisan dan kata-kata yang paling sering kita lihat
dan kita dengar yang intinya: Aku lelah. Aku ingin menikah. Aku ingin hidup
enak.
Kita bisa memahami itu.
Tetapi, maaf, jika kamu merasa lelah dengan tugas-tugas
harianmu, lalu tiba-tiba merasa menikah adalah solusi untukmu, kurasa, kamu
belum siap menikah. Jadi, kembalilah kerjkan tugas-tugasmu. Lalu, tenangkan
pikiranmu. Dan, jangan melihat menikah sebagai solusi dari kelelahanmuu saat
ini.
Sebab menikah bukanlah solusi dari kelelahanmu.
Kenyataannya, menikah akan semakin melelahkanmu.
Menikah, bagi laki-laki, adalah bangun pagi-pagi, melawan
kemacetan demi menafkahkan sang istri dan anak-anak, berlamah lembut kepada
istri dan anak-anak meskipun penat sepulang kerja.
Menikah, bagi wanita, adalah berusaha patuh kepada suami
dengan baik dan benar, sepeti menyiapkan kebutuhan suami yang akan berangkat
mencari nafkah, berusaha memprioritaskan waktu bersama keluarga meski sedang
berkarir, menjaga kehormatannya kala ditinggal sendirian, dan mengikuti
kesepakatan-kessepakatan yang telah dirundingkan dan disetujui bersama suami.
Menikah adalah menyadari, menerima, dan besabar bahwa
prioritas utama sang suami adalah orangtuanya; sementara prioritas utama sang
istri adalah suaminya.
Menikah, bagi laki-laki, adalah tetap berusaha adil kepada
semua pihak: Orangtua yang menjadi prioritas utamanya; serta istri dan
anak-anak yang menjadi tanggungjawabnya.
Menikah, bagi wanita, adalah memahami bahwa nafkah dari
suamimu bukanlah untuk memenuhi keinginanmu semata, melainkan untuk memenuhi
kebutuhan bersama. Bisakah kamu mengelolanya dengan baik? Bisakah kamu
merelakan keinginan-keinginanmu untuk membeli tas baru, kosmetik, dan sepatu
baru?
Menikah adalah bersabar pada hal-hal yang tidak kau sukai
dari pasanganmu.
Menikah adalah berusaha keras menghilangkan kebiasaan-kebiasaan
buruk yang tidak disukai pasanganmu.
Menikah adalah senatiasa memikirkan perasaan dan kondisi
pasangan di setiap keputusan yang kau ambil.
Menikah adalah menyatukan dua kepala yang berbeda, meski
salah satu di antaranya harus merelakan mimpinya; sebagaimana sang suami harus
rela melepas mimpinya untuk menafkahi keluarga; atau, sebegaimana sang istri
harus rela melepas mimpinya untuk mewujudkan kehidupan untuk sang anak. Namun,
tentu, lebih baik jika mimpi-mimpi yang direlakan tersebut mewujud mimpi-mimpi
baru.
Menikah adalah memperbanyak stok maaf.
Menikah adalah menyadari bahwa misi utama syaitan adalah
memisahkan kalian berdua.
Menikah adalah menyadari bahwa perasaan cinta tidak selalu
hadir, lalu berusaha bertahan, dan menumbuhkan perasaan itu lagi. Sebab
sebagaimana perasaan-perasaan lain; kadang cinta datang, kadang cinta pergi.
Menikah adalah berusaha saling memahami kala egois menerjang.
Menikah adalah bersabar menanti kedatangan bayi pertama.
Menikah adalah bersabar bangun di tengah malam, berulang
kali, untuk bayimu yang tak henti-hentinya menangis.
Menikah adalah menjadi guru pertama bagi anak-anak yang kau
lahirkan dengan penuh kesabaran; guru kehidupan dalam segala hal: belajar
berbicara, belajar berkomunikasi, belajar berjalan, belajar buang air di
toilet, belajar menghadapi taman baru, belajar menghadapi hari pertama di
sekolah, belajar membaca, belajar menulis, belajar berhitung, belajar mengenali
diri sendiri, membimbingnya ke dalam Islam, dan pelajaran-pelajaran yang tak
akan habisnya ditulis di sini.
Dan, menikah adalah… hal-hal yang tak akan cukup tertulis
pada sebuah buku.
Namun, lebih penting dari itu semua, menikah adalah berusaha
menyelamatkan keluarga dari panasanya api neraka.
“Hai, orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa-apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
deperintahkan.” [at-Tahrim/66:6]
Dan, “menyelamatkan keluarga dari api neraka” tidak
sesederhana saling mengingatkan sholat.
Suami dan istri harus saling mengingatkan dalam kebaikan dan
kebenaran, seperti…
Apakah kita sudah mentauhidkan Allah dengan benar?
Apakah kita sudah menyembah Allah dengan benar?
Apakah tujuan hidup kita adalah akhirat?
Apakah gerakan dan bacaan sholat mereka sudah benar? Apa
buktinya?
Apakah cara berwudunya sudah benar? Apa buktinya?
Apakah sumber nafkah ini halal? Apa buktinya?
Adakah pinjaman atau pembelian yang terkontaminasi oleh riba?
Sudahkahh kita menuntut ilmu hari ini?
Sudahkah kita memperlakukan satu sama lain dengan benar?
Apakah seluruh amalan yang telah dilakukan sesuai dengan
tuntunan Rasulullah? Apa buktinya?
Dan, apakah-apakah lainnya… sudahkan itu benar?
Dan, ada satu kekeliruan yang sering terjadi antara suami dan
istri dalam menunaikan ibadah salat. Sang istri teramat berharap bahwa sang
suami akan mengimaminya salat Magrib. Sesekali saja. Dan, sayangnya, sang suami,
dengan santainya, mengiyakan ajakan istri. Padahal, sang suami, sebagai
laki-laki, diwajibkan sholat di masjid, kecuali ada uzur. Sedangkan sholatnya
wanita lebih utama di rumah, meski tidak dilarang jika dia ingin ikut ke
masjid, asalkan dengan penampilan ang tepat.
Jadi, jika harus menyandingkan sekolah, kuliah, kerja dengan
pernikahan pada suatu garis yang sama, sesungguhnya sekolah, kuliah, kerja
hanyalah seluas ujung jari. Belum ada apa-apanya. Sekolah dan kuliah berujung
pada kelulusan. Kerja berujung pada penerimaan gaji tiap waktunya. Pernikahan
berujung pada apa?
Yaah, pernikahan tidak berujung; ia adalah ibadah seumur
hidup; ia bisa jadi melelahkan; namun, orang-orang yang niatnya lurus ingin
menikah semata-mata hanya karena Allah, mereka akan menikmatinya, sebagaimana
mereka bisa menikmati kehidupan mereka sebelum menikah. Tentunya, dengan
kenikmatan yang baik dan benar.
Dan, mereka yang ingin menikah karena lelah dan bosan dengan
kondisi saat ini, tiga atau lima tahun setelah menikah, mereka akan mengeluhkan
hal yang sama, “Kok gini-gini aja, ya?
Duh, kok nyesel harus nikah secepat ini. Capek gini terus. Mending sendirian
ajalah.”
Jadi, jika kamu masih berada di bangku sekolah dan kuliah,
anggap fase ini sebagai tantangan. Kalau hal sesepele sekolah dan kuliah saja
sudah mau menyerah, bagaimana menikah yang lebih rumit nanti? Apakah kamu sudah
bisa bersabar pada tugas-tugas yang menumpuk? Apakah kamu sudah bisa mengelola
waktumu baik-baik?
Jika kamu masih bekerja, anggap fase ini sebagai pengembangan
diri sebelum berumah tangga nanti. Bagaimana kamu bersosialisasi dengan orang,
bagaimana kamu bertindak professional, bagaimana kamu mengumpulkan pengalaman
untuk diceritakan pada anak-anakmu kelak, bagaimana kamu menerima gaji dan
belajar mengelola uang.
Tetapi, jangan melihat sekolah, kuliah, kerja pada sudut
pandang menikah saja yaa…
Sebab, fase sekolah, kuliah, dan kerja tidak sedangkal itu.
Lihatlah lebih luas. Bahwa dengan ilmu yang kau miliki hari
ini, bisa kau gunakan untuk memberi manfaat pada orang lain, bisa kau gunakan
sebagai pengembangan dirimu secara personal, bisa kau gunakan untuk menemukan
sesuatu, bisa kau jaadikan sebuah pengalaman yang kelak kau tuliskan dalam
sebuah buku, yang pada akhirnya bisa kau jadikan sebagi amal jariyah.
Jangan jadikan menikah sebagai patokan.
Karena kehidupan tidak berputar pada pernikahan semata.
Karena kehidupan tidak berputar pada pernikahan semata.
Bahkan beberapa meninggal sebelum menikah.
Jadi, amalkan kebaikan untuk hal yang lebih pasti dari
pernikahan.
Dan, aku ingin kamu tahu: Aku menghargai dan mendukung
keinginanmu untuk menikah muda, sungguh itu keinginan yang baik. Tetapi, tolong,
luruskan niatmu.
Sumber:
Al-qur'an dan hadist
Al-qur'an dan hadist
alvisyhrn
annisarzkaa