Di bawah langit pagi yang mendung, kamu melangkah pelan di jalanan yang ramai. Di sekelilingmu, orang-orang berkemeja terburu-buru, bangunan-bangunan menjulang tinggi, deru mesin dan klakson mobil dan motor saling beradu.
Kamu
mencoba mencari wajah bahagia di wajah orang-orang dewasa di sini, di kota yang
sesak ini. Sebab, selama ini, orang-orang sering bilang tentang buruknya
menjadi dewasa. Dan, kamu sedang beranjak dewasa. Tetapi, kamu ingin menemukan
sisi terang dari menjadi dewasa.
Jadi,
di sini, di kota yang sesak ini, kamu memperhatikan wajah orang-orang berkemeja
ini, menganalisis profesi mereka dari pakaian mereka, dari cara mereka
berjalan, dan apapun yang bisa kamu perhatikan. Supaya kamu tahu profesi apa yang
bisa membuatmu sedikit lebih bahagia, sedikit lebih nyaman.
Ada
kursi kesepian di trotoar, kamu berjalan ke situ, duduk di sana. Memperhatikan lebih
jernih. Mencari satu target.
Nah,
itu. Seorang pemuda, baru saja turun dari ojek. Dia mengenakan kemeja biru
langit dan celana hitam ala anak kantoran. Jari-jarinya yang gemuk melepas
helm, menyerahkannya kepada sang pengemudi. Lekas dia mengelap keringat di
pelipisnya. Dia bahkan lupa tersenyum. Sambil mengetik sesuatu di ponsel, dia
menapaki langkah berikutnya, tergesa-gesa, menuju suatu gedung.
Mungkin,
dia seorang karyawan yang nyaris terlambat.
Lalu,
kamu menghela napas.
Mungkin, begitu, sih, kalau jadi
karyawan
Jadi kayak sekolah lagi, mungkin? Beberapa
tempat mengatur jam berapa kamu masuk dan jam berapa kamu keluar. Masuk pagi,
pulang malam.
Menjadi bawahan juga harus siap
dimarahi bos.
Atau, dikelilingi rekan-rekan yang
iri seperti di film.
Lalu, terjebak sistem yang ngga
diharapkan. Nggak ada kebebasan. Nggak bisa berkontribusi penuh, tak peduli
sekreatif apa pun diriku nanti.
Tetapi,
kamu hanya melihat sisi buruk menjadi karyawan,
Namun,
inilah sisi baiknya. Menjadi karyawan berarti kamu akan digaji setiap bulannya,
dan, bagi beberapa orang, itu lebih aman. Selain itu, menjadi karyawan berarti
kamu memiliki seorang atasan, yang mana kamu akan belajar banyak darinya. Yang mungkin
bisa menjadi mentormu di masa depan. Menjadi karyawan mendorongmu untuk
disiplin. Karena beberapa orang memutuskan bekerja secara mandiri, dan mereka
terengah-engah, tak mampu mendisiplinkan diri, gagal di kemudian hari. Setidaknya,
saat menjadi karyawan, kamu diawasi, kamu diberi tanggungjawab oleh atasan yang
nyata, dan itu akan membuatmu berusaha lebih baik. Lalu, menjadi karyawan
mengajarimu tentang berjuang dari bawah, membuatmu paham posisi-posisi orang di
bawah, saat kamu sudah di atas nanti. Yang mudah-mudahan bermanfaat saat kamu
punya pengaruh nanti.
Namun,
aku juga harus membocorkan bagian-bagian yang tak mengenakkan dari menjadi
karyawan; Kamu akan selalu terjebak sistem. Bila saja itu sistem yang tak
sesuai dengan prinsipmu, dan kamu tak bisa berbuat apa-apa, selain memendam
rasa bersalah. Tetapi, bisa juga kamu terjebak di sistem yang bertabrakan
dengan prinsipmu. Just like anything in
life, we don’t really know anything, atau, mungkin, suatu waktu,
perusahaanmu akan mengalami beberapa perubahan drastis, yang menyebabkanmu
harus mencari jalur lain.
Maka,
di kepalamu, menjadi karyawan tetap tak enak. I can’t create my own system, I can’t choose the people I want to be
with, I don’t want to give my future to the company I don’t even know it’s
future, batinmu.
Jadi,
kamu mencari target lain di jalanan itu.
Tepat,
ada seorang laki-laki melangkah santai menuju gedung yang lain. Terlalu tua
untuk disebut pemuda. Terlalu tua untuk disebut bapak-bapak. Dia melangkah
dengan seragam khas PNS, sesekali melihat jam tangannya, menyapa dan tersenyum
pada rekan-rekan yang mengenakan seragam yang sama.
Jadi, PNS kayaknya enak. Kerjanya santai.
Lebih menjamin saat sudah tua nanti.
Namun,
di satu sisi, ada jiwa muda yang ingin bebas, bertualang, dan bereksperimen
dalam dadamu. Kamu tak ingin dimutasi di sana-sini. Iya, itu bagian dari
petualangan dan ekperimenmu sendiri. Kamu juga tak ingin duduk diam, melakukan
hal yang sama selama bertahun-tahun, berdiskusi dengan orang-orang yang terlalu
memuja sistem lama. So, it’s like going
back to feeling trapped in s system you don’t really want to be in.
Tapi, jaminan kerjanya itu, lho. Lebih
menjamin banget sampai tua.
Well, yes,
ini bisa jadi strategi yang bagus untuk hari tuamu. Namun, aku juga ingin memberi
satu-dua hal. PNS, sebagaimana pekerjaan-pekerjaan lain, memiliki kurang dan
lebihnya. Lebihnya, kamu mungkin sudah tahu. Kurangnya juga. Tetapi, yang ingin
kujadikan poin utama adalah tentang “jaminan di masa tua” dan “terjebak sistem”.
Ada
sebuah pengalaman dari seorang teman yang telah menjadi PNS, mau tak mau, pada
awalnya ia harus mau ditempatkan di tempat-tempat terpelosok untuk mengabdi,
jauh dari keluarga, dari suami/istrinya, pekerjaan yang melelahkan dan
membosankan, hal-hal yang ia keluhkan setiap hari, tapi itu lebih baik daripada
hidup tanpa jaminan, pikirnya.
Sekali
lagi, memilih PNS untuk mendapatkan jaminan di masa tua adalah strategi yang
bagus. Namun, kita tak bisa menggantungkan harap yang penuh pada hal ini. Bukan
cuma PNS. Profesi apa pun. Tak bisa kita taruhkan seluruh harap kita di sana. Sebab
kita tak tahu apa yang akan terjadi sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Jika
kita memang ingin menjadikan ini sebagai jaminan di masa tua, maka kita juga
harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan.
Maksudku,
bagaimana jika ada perubahan aturan di masa depan karena satu-dua hal yang tak
terelakkan? Apakah kamu masih mau memperjuangkan ini? Atau, jaminan masa tuanya
saja yang kamu kejar?
Ada
pun mengenai terjebak sistem, well,
kita tak pernah bisa melawan sistem sendirian. Namun, kita butuh agen-agen
perubahan. Kita butuh orang-orang yang terbuka pada inovasi. Dan, jika itu ada
pada dirimu, pertahankan meskipun kamu terjebak dalam kenyamanan sebuah sistem,
selama sistem itu halal dan baik. Agar kamu bisa mempertahankan sisi muda dalam
dirimu. Sisi muda yang ingin berkembang, yang kemudian menjadi agen perubahan
bagi generasi berikutnya yang ingin berada di tempatmu hari ini. Yang mungkin
akan terinspirasi banyak darimu dan inovasi-inovasi yang kamu berusaha
perjuangkan sejak muda. But that’s not
going to be easy. Jika kamu punya motif yang kuat nan mulia, you’ll survive, anyway.
Lalu,
kepalamu mendadak rumit oleh tali-tali abstrak, menlingkar, tersimpul mati.
Kayaknya berat juga, sih, jadi PNS,
kalau aku melihat lebih jauh. Apalagi alasanku cuma sedangkal dapat jaminan di
masa tua.
Jadi,
kamu mencari pilihan lain.
Di
depanmu, ada apartemen yang menjulang tinggi.
Kamu
menengadahkan kepalamu. Di satu jendela, ada tirai yang sedang dibuka.
Enak banget tuh orang, masih di
rumah jam segini.
Orang
tersebut, seorang pemuda berpakaian necis meski hanya dengan kaus berkerah dan
jeans seadanya, melangkah menuju balkon dengan segelas cangkir yang
mengeluarkan asap. Oh, dia sedang menelepon seseorang, berbicara panjang lebar
dengan senyum penuh percaya diri dan kesantaian yang luar biasa. Sekitar tujuh
menit di balkon, dia kembali masuk.
Dia pengusaha kali, ya? Santai banget
hidupnya.
Apa aku jadi pengusaha kali, ya? Mulai
kecil-kecilan aja dulu. Pakai modal seadanya. Bikin apa, ya…
Ide belakanganlah, yang penting aku
udah tau mau jadi apa; Pengusaha! Aku bakal memiliki kebebasanku. Aku bisa
mengatur waktuku. Aku nggak perlu diatur sistem. Aku yang membuat sistem! Gajiku
juga bisa lebih besar dari karyawan-karyawan ini. Aku juga nggak perlu terjebak
dalam sistem dan kerjaan yang membosankan selama bertahun-tahun. Hitung-hitung,
aku juga bisa membuka lapangan pekerjaan, membantu orang-orang. Sip, yakin aku
mau jadi pengusaha, titik.
Dan,
si sinilah kita sekarang. Tinggal di generasi di mana orang-orang berpikir;
Menjadi karyawan itu menjemukan. Menjadi PNS itu lebih menjamin. Menjadi pengusaha
adalah rockstar masa kini.
Seperti
anak-anak kecil yang mendambakan menjadi YouTuber, orang-orang dewasa
mendambakan menjadi pengusaha.
Tidak,
tidak salah, memang. Semua orang berhak bermimpi apa pun yang dia mau. Tetapi,
ketika kita bermimpi, kita hanya melihat bagian enak-enaknya saja. Kita bermimpi
setinggi langit, tetapi kita lupa bahwa kita tak pernah punya sayap. Kita lupa
menjadi realistis.
Menjadi
pengusaha tak lantas berarti kita punya kebebasan. Malah, kita terjebak oleh
waktu. Tak ada jam kerja sering kali
membuat kita kerja di laur waktunya. Tak ada job responsibility di awal,
sebab sebagai pengusaha dengan modal pas-pasan, mengharuskan kita mengerjakan hampir
semuanya, sendiri, sampai-sampai pekerjaan seolah tak ada habisnya, 24 jam tak
pernah cukup. Tak ada gaji yang tetap di setiap bulannya meningkatkan stress kita.
Belum lagi saat kita sudah memiliki bawahan yang ikut berjuang bersama kita sekaligus
menanti gaji di tiap bulannya.
Yah, di awal-awal aja yang begitu. Kalau
sudah stabil, bakal lebih enak.
Kalimat
itu mungkin ada benarnya. Tetapi, tak sepenuhnya benar.
Katakanlah,
usaha kita telah berjalan sukses. Kita telah berhasil mendaki pohon, bergantung
di puncak pohon. Di sana, angin berhembus makin kencang, posisi kita sudah
tinggi, tetapi, sekaligus goyah. Dan, pohon senantiasa tumbuh, semakin tinggi. Kita
tak bisa terus-terusan bergantung begitu. Kita butuh mendaki lagi. Ingat bagaimana
Nokia merasa telah menguasai pasar ponsel. Ingat bagaimana Fuji telah menguasai
pasar kamera. Ingat bagaimana Blackberry yakin akan posisinya pada pasar smartphone. Pohon terus tumbuh. Kita tak
pernah benar-benar stabil. Sedetik terlambat, bisa berpengaruh banyak hal jika
usahamu sudah begitu besar.
Namun,
bukan berarti menjadi pengusaha juga buruk.
Ini
cuma soal menjadi realistis.
Kita
sering kali bermimpi, tetapi lupa realistis. Kita bermimpi setinggi langit,
tetapi kita hanya melihat awan seputih kapas,
langit biru, taburan bintang, kita bahkan menutup mata dari kilat, petir
dan meteor yang bisa jatuh kapan saja.
Kita
perlu realistis.
Kita
hanya melihat bagian yang menyenangkan.
Dan,
hari ini, kepalamu semakin pening.
Jadi,
mending mana? PNS, karyawan, atau pengusaha?
Maka,
aku akan bertanya kembali; Dari semua penjelasan di atas, resiko mana yang
lebih berani kamu amabil? Dan, kenapa begitu yakin?
Kalau
boleh berbagi, saat ini, aku pribadi memilih karyawan. Aku merasa cocok menjadi
karyawan karena aku suka belajar dari orang-orang yang lebih berpengalaman. Karena
aku tahu kekuranganku, aku mungkin kurang disiplin, tetapi aku punya rasa
sungkan yang lebih. Sehingga aku butuh seorang partner atau atasan, merasa
sungkan saaat kerjaanku belum beres, jadilah aku bersemangat dalam bekerja. Tapi,
aku tidak tahu beberapa saat nanti, yang pasti, kerjakanlah apa yang bisa kamu
kerjakakan, apa saja, selagi apa yang kamu kerjakan itu baik dan halal.
Jadi
begitulah, kamu pun harus mengenali kekurangan dan kelebihanmu. Terkadang,
untuk tahu kekurangan dan kelebihan-kelebihanmu, kamu juga butuh mengotori
tanganmu, membasahi langkahmu, mencoba apa yang kamu inginkan, mengikuti alur
yang ada, sekaligus berpegang teguh pada kebenaran.
Lalu,
nikmati prosesnya, sepeerti kata orang-orang.
Lalu,
tentukan pijakan-pijakan berikutnya, bangun sayapmu, lalu terbanglah menuju
mimpimu.
Tetapi,
ingat-ingat selalu; Pilihlah yang halal, pastikan benar-benar mana pekerjaan
yang baik dan halal. Agar rezeki yang kamu terima berkah. Dan, supaya… hati ini
juga tenang.
Dan
satu lagi; “Tak ada mimpi yang sempurna di dunia yang tak sempurna ini.”