Rabu, 18 November 2020

Secuil Cerita Masa Kecilku

Halo, aku adalah seseorang yang telah beranjak dewasa, yang memiliki keluarga yang sangat baiiik sekali, aku sangat bersyukur dan sangat beruntung, yah meskipun tak sempurna… Tidak ada yang sempurna bukan?

Aku ingin menulis secuil cerita masa kecilku yang kurasa adalah salah satu masa yang membahagiakan dalam hidup. Aku menulisnya karna aku takut suatu saat kenangan itu akan hilang termakan usia. Agar suatu saat, aku bisa membacanya kembali.

Sebenarnya aku tak tau harus mulai darimana, hanya saja aku akan menuliskan apa saja hal menyenangkan yang aku ingat. Yah semuanya menyenangkan, hampir tidak ada kesedihan yang aku rasakan waktu kecil, selain tangisan hanya sekedar karena ditinggal ibu pergi belanja atau rasa bosan menunggu ayah pulang kerja.

Aku lahir dari keluarga yang sangat sederhana, aku adalah anak pertama mereka, kedua orang tuaku. Aku paling suka digendong dipundak ayahku, tiba tiba ia jongkok dan bediri lagi membuat aku tertawa sekaligus membuat aku deg deg an karena takut jatuh, betapa kecilnya aku waktu itu, tapi aku ingat. Aku suka berdiri di kakinya yang besar, mengikuti ia berjalan sambil memeluknya. Aku juga paling suka mendengar cerita nya saat aku menjelang akan tidur, ia paling sering menceritakan kisah para nabi, bahkan sampai sekarang aku masih ingat ceritanya.

Ia selalu menuruti apapun yang aku inginkan, ketika aku lelah karena kecapaian main seharian, ia memijiti kaki dan tanganku sebelum tidur, agar aku tidur nyenyak. Aku tidak pernah merasa kekurangan sedikitpun. Bukan hal hal besar yang mereka beri, tapi itu lebih dari cukup.

Waktu kecil aku suka dibelikan boneka boneka kecil lucu ketika pergi ke pameran. Hingga menjadi banyak sekali. Aku paling suka diajak ke pameran bersama mereka, jalan kaki, malam malam bersama ibu dan ayah, bermain kuda kudaan dan pulang membawa oleh oleh harum manis kesukaanku dulu.

Ibuku, adalah seseorang yang paling memperhatikanku. Ia yang selalu membangunkanku waktu tidur, memandikanku, menyiapkan dan memakaikan aku pakaian yang baik. Memasak, menyediakan makanan, hingga menyuapiku waktu kecil. Aku adalah anak kecil yang sedikit susah makan saat itu, aku tidak suka makan dan tidak suka sayur. Hampir setiap saat ibu menyuapiku. Ia menyuapiku sambil aku lari lari menonton film kesukaanku, kembali disuapi, kembali lari lari menonton tv, mengajak ia menyanyi sampil tepuk tepuk tangan, ya, tanganku dan tangannya sambil menyanyikan lagu, hingga makanan yang aku makan habis.

Pernah suatu hari aku tidak ingin menghabiskan makanan, lalu ia berkata, “yaudah 3 kali lagi”. Lalu aku mengangguk dan menerima suapannya sambil mengitung, 1, sambil main, makan lagi, 2, main lagi, 3, aku bilang “sudah”, ia berkata, “kurang satu lagi, kan ibu menghitungnya dari tiga, 3, 2, 1, 0, 0 nya belum”. Dan aku mengangguk dan merima suapan terakhir. Yah, ada saja caranya agar aku mau makan.

Ia selalu mengantarkan aku ke sekolah TK naik sepeda setiap hari. Aku yang selalu susah bangun dan datang terlambat hampir setiap hari. Tapi ia tidak pernah marah.

Hal yang paling suka waktu kecil adalah bermain. Bermain bersama teman temanku sepulang sekolah dan di hari minggu. Aku punya teman masa kecil yang baik dan menyenangkan. Hampir setiap hari aku bersama mereka. Kebanyakan teman teman masa kecilku adalah laki laki. Sehingga aku lebih sering bermain permainan laki laki, main kelereng, layang layang, main di sawah dan di kebun.

Ayahku terkadang  membelikan aku mainan. Tapi yang paling membuat aku terkesan dan teringat adalah ketika ia membuatkanku mobil mobilan besar dari kayu, semuanya dari kayu bahkan hingga roda rodanya. Ia membuatkanku layangan yang sangat besar, bisa disebut layangan sendaren di sini. Layangan itu besar sekali dan bisa berbunyi. Aku belum bisa main layangan waktu itu, ia yang menerbangkannya, saat sudah terbang tinggi, sesekali ia memberikan benangnya, membiarkanku memeganggannya, ada rasa senang sekaligus takut, takut layang layangnya akan jatuh.

Baiklah, sampai di sini dulu cerita yang tak ada alur ini. Kalau ada waktu akan aku lanjutkan, hehe…

Kamis, 09 Juli 2020

KISAH HIDUP ZOMBIE


Di sebuah desa kecil, lahirlah seorang anak laki-laki.
Dia memiliki kulit pucat dan mata besar.
Saat anak itu tumbuh besar, sang ibu segera menyadari bahwa anak laki-laki ini tak memiliki perasaan.
Dia hanya memiliki nafsu makan, seperti Zombie.

Sang ibu mengurung anaknya di bawah tanah, untuk menghindari penduduk desa.
Setiap malam, sang ibu memberinya makan dengan hewan ternak yang dicurinya.
Hari ini, dia mencuri ayam.
Hari esoknya, dia mencuri kambing.
Dia melakukannya bertahun-tahun.

Hingga suatu hari, wabah menyebar membuat semua hewan ternak mati.
Banyak orang yang meninggal.
Semua orang yang selamat pergi meninggalkan desa itu.

Sang ibu tidak bisa meninggalkan anaknya.
Demi meredakan rasa lapar anaknya, sang ibu memberikan salah satu kakinya, kemudian satu tangannya.
Setelah kaki dan tangannya, hanya tubuhnya yang tersisa.
Sang ibu memeluk anak itu untuk terakhir kalinya dan memberikan sisa tubuhnya.

Dengan kedua tangannya, anak itu memeluk erat tubuh ibunya dan berbicara untuk pertama kalinya.
“Ibu, kau hangat sekali.”

Apa keinginan nak itu? Memenuhi rasa lapar atau kehangatan ibunya?.

Selasa, 28 April 2020

Kumpulan Puisi Oleh Annisa Rizka Amalia

2020

Bumi tak seperti biasanya,
Ia sedang kelelahan,
Menopang manusia-manusia serakah tanpa henti,
Ia mulai putus asa.

Lalu, ia pun berdoa kepada Tuhan,
"Wahai Tuhan, aku ingin istirahat",
Kata bumi kepada Tuhan,
"Baiklah", Tuhanpun mengabulkan.

Di atas tanah gersang, di bawah langit abu-abu,
Kini hampir semua terhenti,
Manusia-manusia serakah itu tidak bisa berbuat apa apa,
Merenungi diri, "apa yang sudah saya lakukan?!"

Minta maaflah pada bumi.

Ini tidak akan berhenti, sampai pada akhirnya bumi memaafkan,
Satu hal yang membuat bumi kembali baik adalah "kesadaran".

Sadarlah, kau tak lebih tinggi dari pohon-pohon ciptaanNya,
Gedung-gedungmu tak lebih tinggi dari langit di angkasa,
Sadarlah, bahwa kau hanya manusia-manusia kecil,
Yang akan berguna, jika kau peduli sesama.

Atas kesadaran, semua akan membaik,
Sedikit demi sedikit, tanah mulai subur,
Tumbuhan menghijau, langit kembali biru,
Itu tandanya, bumi telah memafkan.

Hingga, semua akan kembali pulih, seperti biasanya.

Annisarzkaa, 2020




TONG KOSONG

Hilang..
Adalah keinginannya sejak lama.
Wajah lusuh, mata sayu, menemani hari-harinya.

Tidur..
Adalah hal yang ia sukai.
Membuatnya lupa,
Hal-hal gelap yang pernah ia lalui.

Ibu..
Benaknya terhadap sosok itu,
Membuat dia bertahan.

Manusia yang kau kenal manis itu,
Sesungguhnya ia telah tiada.
Raganya hidup, tapi jiwanya bagai di telan bumi.

Ia tersenyum, tertawa.
Tetapi, tidak dengan hatinya.
Ada titik hitam yang tak pernah hilang.
Ia takut sepi, tapi yang lain tak berarti.

@annisarzkaa (2020)

Sabtu, 11 April 2020

Jodoh Tak Kemana


Itu semua bermula dari tatapan yang tak disengaja dan percakapan sederhana.

“Oh, kamu suka film itu juga?”

“Hari ini ngapain?”

“Hujan ya, dingin”.

Tadinya, tak ada yang spesial tentangnya

Namun, kau dan dia seakan ditakdirkan bersama.

Mungkin, dari tempat duduk yang bersebrangan, kelas yang sama, organisasi yang bersinggungan, atau apapun yang menjadikan kalian bertemu.

Dan, pertemuanmu dengannya semakin intens, percakapanmu dengannya menjadi semacam candu.

Lalu, perlahan-lahan, kau membuka satu ceritamu untuknya.

Kau juga tak pernah paham mengapa kau melakukan itu.

Mungkin, kau hanya ingin bercerita.

Mungkin, kau hanya ingin mendengar sudut pandang baru.

Mungkin, kau hanya ingin mendengar suaranya.

Jadi, kau bercerita kepadanya.

Dan, kau tak pernah menyangka bahwa kau tenggelam lebih dalam hari itu. Melalui tatapan matanya, mendengar ceritamu. Melalu bibirnya yang menuturkan solusi-solusi cerdas untuk masalahmu. Dan cengiran di wajahnya yang seolah berkata, “Tenang! Namanya juga hidup, biasalah ada drama begini.”

Hari itu, hatimu sudah mulai merasa, mulai berharap.

Namun, kau tidak pernah menyadarinya. Satu-satunya hal yang kau sadari adalah, di dalam hatimu, kau berkata, “Kok dia beda dari yang lain, sih?”

Sejak saat itu, jika ada kejadian-kejadian kecil terjadi dalam hidupmu, dia adalah orang pertama yang harus tahu. Karena kau ingin mendengar responsnya. Karena kau ingin tahu. Apakah kita akan cocok?

Hari berlalu bersama cerita-cerita baru, dan kau semakin jatuh, lebih dalam. Pada dirinya, suaranya, gayanya yang tak pernah dibuat-buat, tatapannya yang dalam, lelucon garingnya yang membuatmu lupa pada masalah sejenak, ucapannya yang menenangkan, dan segala tentangnya.

Dan, tak ada satupun hal yang kau benci dari dia.

Oh, dia tak sempurna, itu jelas.

Dia bukan yang paling popular, bukan yang paling rupawan, bukan yang paling cerdas, tapi cukup untukmu. Di masa kini, dan mudah-mudahan di masa depan.

Kau yang tak tahu banyak tentang cinta, mulai mencoba mengirim sinyal. Mengirim pesan untuknya di waktu yang tepat. Membagi cerita keseharianmu, untuknya, beserta kisah-kisah sedihmu di masa lalu. Jalan bersamanya, berdua saja. Diam-diam, menyelipkan kode seperti, “Kenapa kamu nggak pacaran?”; “Ciyee, kamu suka sama dia, ya?”

Dan, dia juga mengirimkan sinyal yang sama, seolah dia menyukaimu. Kadang-kadang, dia membuka pagimu melalui pesan tak penting, seperti, “Dasar kebo”. Kadang-kadang, dia membagi sebuah cerita dan berkata, “Jangan cerita ke siapa-siapa dulu, ya.” Kadang-kadang, dia memberikanmu kejutan tak jelas yang selalu berhasil membuat pipimu menghangat dan bibirmu tersenyum seharian penuh. Kadang-kadang, dia berkata dia merindukanmu, padahal kalian baru bertemu tadi siang. Kadang-kadang, dia menjadi seseorang yang bijaksana dan lucu sekaligus, membuatmu menjerit di dalam hati “Aku mau menghabiskan seumur hidupku sama kamu”.

But things happened.

Ketika hubungan kalian semakin dekat, ketika kau semakin yakin bahwa dia adalah pasangan yang tepat di masa depanmu, ketika kau ingin dia membersamaimu, ketika hatimu semakin terpaut kepadanya, ada yang perlahan berubah.

Dia yang berubah.

Dia… semacam menjauh.

Padahal, kalian pernah sangat dekat.

Padahal tak ada masalah apa-apa di antara semua ini.

Kau kelewat bingung.

Akupun bingung; kok bisa?

Tiba-tiba saja, pesan-pesan yang kau kirimkan semakin jarang dibalas.

Tiba-tiba saja, pertemuan kalian terasa canggung. Dia selalu beranjak lebih dulu.

Tiba-tiba saja, percakapan kalian terasa hambar. Dia tak lagi banyak bicara.

Tiba-tiba saja, dia hilang. Sosoknya ada, tetapi jiwanya tidak.

Kau berusaha mencari tahu apa yang terjadi.

“Kamu kenapa?”

“Kalau ada apa-apa, cerita aja.”

“Aku ada salah sama kamu, ya?”

Namun, kau tak pernah mendapatkan jawaban pasti.

Dia sudah hilang. Di hadapanmu, dia memang ada. Di hatimu, dia masih ada. Namun di hatinya, kau mungkin sudah tak ada lagi.

Segalanya membingungkan.

Bahkan, bagiku yang menuliskan ini.

Namun, ini terjadi kepadamu.

Setiap malam, hatimu merasakan berbagai macam patah hati. Gelisah, seperti berdiri di ujung tebing, yang membuatmu ingin jatuh saja agar segalanya berakhir. Sakit, seperti dikerumuni jarum-jarum kecil yang menusuk permukaan hatimu. Terombang-ambing, seperti laying-layang yang terputus, melayang jatuh tak berarah dibawa angin.

Pada malam-malam tertentu, patah hati ini terasa begitu kuat sampai-sampai air matamu tak mau keluar, bahkan untuk sekedar menemanimu.

Pada malam-malam yang lain, air matamu mengalir seperti hujan di bulan Desember. Tisu-tisu bertebaran. Mata sembap. Hidung merah. Kepala pening. Hatimu masih meneriakkan namanya, mengharapkannya, menangisinya. Ya, kau sadar: kau bertindak bodoh, tetapi kau bisa apa? Kau bahkan tak mengharapkan kehadiran air mata berlebihan ini.

Dan, aku ingin bilang kepadamu:

Menangislah.

Teruslah menangis.

Hingga lega.

Lalu, realistislah.

Jika dia bukan jodohmu, meskipun jutaan liter air mata kau curahkan untuknya, dia tetap tidak akan menjadi jodohmu.

Jika dia bukan jodohmu, meskipun kau berharap sekuat apa pun, dia tetap tidak akan menjadi jodohmu.

Jika dia bukan jodohmu, meskipun kau mengusahakan berbagai cara untuk bersamanya, dia tetap tidak akan menjadi jodohmu.

Jika dia bukan jodohmu, meskipunkau mempertahankannya bertahun-tahun, dia tetap tidak akan menjadi jodohmu.

Dan, tak perlulah kau mencari orang baru untuk mengisi kekosongan hatimu.

Kaulah yang harus mengisi hatimu.

Bukan orang lain.

Karena manusia selalu menjadi sumber patah hati. Maksudku, lihatlah apa yang terjadi kepadamu dan dirinya. Kau menggantungkan kebahagiaanmu kepadanya, mengkhayal masa depan indah bersamanya, menaruh hatimu di atas hatinya, memegang janji yang tak pernah terucap, lalu perhatikan bagaimana ini berakhir. Isn’t it hurt so bad?

Maka, tak perlu berlebihan dalam jatuh cinta. Biasa saja.

Ya, kita tak pernah bisa menolak perasaan jatuh cinta, tetapi kita bisa memilih agar tak jatuh lebih dalam.

Dan, perihal jodoh…

Tuhan sudah tahu nama siapa yang akan bersanding dengan namamu di sebuah kartu undangan pernikahan.

Lebih baik kau persiapkan dirimu untuk menjadi lebih baik. Bukankah orang baik hanya untuk orang baik juga?

Rabu, 25 Maret 2020

Mending Mana? PNS, Karyawan, atau Pengusaha?


Di bawah langit pagi yang mendung, kamu melangkah pelan di jalanan yang ramai. Di sekelilingmu, orang-orang berkemeja terburu-buru, bangunan-bangunan menjulang tinggi, deru mesin dan klakson mobil dan motor saling beradu.

Kamu mencoba mencari wajah bahagia di wajah orang-orang dewasa di sini, di kota yang sesak ini. Sebab, selama ini, orang-orang sering bilang tentang buruknya menjadi dewasa. Dan, kamu sedang beranjak dewasa. Tetapi, kamu ingin menemukan sisi terang dari menjadi dewasa.

Jadi, di sini, di kota yang sesak ini, kamu memperhatikan wajah orang-orang berkemeja ini, menganalisis profesi mereka dari pakaian mereka, dari cara mereka berjalan, dan apapun yang bisa kamu perhatikan. Supaya kamu tahu profesi apa yang bisa membuatmu sedikit lebih bahagia, sedikit lebih nyaman.

Ada kursi kesepian di trotoar, kamu berjalan ke situ, duduk di sana. Memperhatikan lebih jernih. Mencari satu target.

Nah, itu. Seorang pemuda, baru saja turun dari ojek. Dia mengenakan kemeja biru langit dan celana hitam ala anak kantoran. Jari-jarinya yang gemuk melepas helm, menyerahkannya kepada sang pengemudi. Lekas dia mengelap keringat di pelipisnya. Dia bahkan lupa tersenyum. Sambil mengetik sesuatu di ponsel, dia menapaki langkah berikutnya, tergesa-gesa, menuju suatu gedung.

Mungkin, dia seorang karyawan yang nyaris terlambat.
Lalu, kamu menghela napas.

Mungkin, begitu, sih, kalau jadi karyawan
Jadi kayak sekolah lagi, mungkin? Beberapa tempat mengatur jam berapa kamu masuk dan jam berapa kamu keluar. Masuk pagi, pulang malam.
Menjadi bawahan juga harus siap dimarahi bos.
Atau, dikelilingi rekan-rekan yang iri seperti di film.
Lalu, terjebak sistem yang ngga diharapkan. Nggak ada kebebasan. Nggak bisa berkontribusi penuh, tak peduli sekreatif apa pun diriku nanti.

Tetapi, kamu hanya melihat sisi buruk menjadi karyawan,

Namun, inilah sisi baiknya. Menjadi karyawan berarti kamu akan digaji setiap bulannya, dan, bagi beberapa orang, itu lebih aman. Selain itu, menjadi karyawan berarti kamu memiliki seorang atasan, yang mana kamu akan belajar banyak darinya. Yang mungkin bisa menjadi mentormu di masa depan. Menjadi karyawan mendorongmu untuk disiplin. Karena beberapa orang memutuskan bekerja secara mandiri, dan mereka terengah-engah, tak mampu mendisiplinkan diri, gagal di kemudian hari. Setidaknya, saat menjadi karyawan, kamu diawasi, kamu diberi tanggungjawab oleh atasan yang nyata, dan itu akan membuatmu berusaha lebih baik. Lalu, menjadi karyawan mengajarimu tentang berjuang dari bawah, membuatmu paham posisi-posisi orang di bawah, saat kamu sudah di atas nanti. Yang mudah-mudahan bermanfaat saat kamu punya pengaruh nanti.

Namun, aku juga harus membocorkan bagian-bagian yang tak mengenakkan dari menjadi karyawan; Kamu akan selalu terjebak sistem. Bila saja itu sistem yang tak sesuai dengan prinsipmu, dan kamu tak bisa berbuat apa-apa, selain memendam rasa bersalah. Tetapi, bisa juga kamu terjebak di sistem yang bertabrakan dengan prinsipmu. Just like anything in life, we don’t really know anything, atau, mungkin, suatu waktu, perusahaanmu akan mengalami beberapa perubahan drastis, yang menyebabkanmu harus mencari jalur lain.

Maka, di kepalamu, menjadi karyawan tetap tak enak. I can’t create my own system, I can’t choose the people I want to be with, I don’t want to give my future to the company I don’t even know it’s future, batinmu.

Jadi, kamu mencari target lain di jalanan itu.

Tepat, ada seorang laki-laki melangkah santai menuju gedung yang lain. Terlalu tua untuk disebut pemuda. Terlalu tua untuk disebut bapak-bapak. Dia melangkah dengan seragam khas PNS, sesekali melihat jam tangannya, menyapa dan tersenyum pada rekan-rekan yang mengenakan seragam yang sama.

Jadi, PNS kayaknya enak. Kerjanya santai. Lebih menjamin saat sudah tua nanti.

Namun, di satu sisi, ada jiwa muda yang ingin bebas, bertualang, dan bereksperimen dalam dadamu. Kamu tak ingin dimutasi di sana-sini. Iya, itu bagian dari petualangan dan ekperimenmu sendiri. Kamu juga tak ingin duduk diam, melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun, berdiskusi dengan orang-orang yang terlalu memuja sistem lama. So, it’s like going back to feeling trapped in s system you don’t really want to be in.

Tapi, jaminan kerjanya itu, lho. Lebih menjamin banget sampai tua.

Well, yes, ini bisa jadi strategi yang bagus untuk hari tuamu. Namun, aku juga ingin memberi satu-dua hal. PNS, sebagaimana pekerjaan-pekerjaan lain, memiliki kurang dan lebihnya. Lebihnya, kamu mungkin sudah tahu. Kurangnya juga. Tetapi, yang ingin kujadikan poin utama adalah tentang “jaminan di masa tua” dan “terjebak sistem”.

Ada sebuah pengalaman dari seorang teman yang telah menjadi PNS, mau tak mau, pada awalnya ia harus mau ditempatkan di tempat-tempat terpelosok untuk mengabdi, jauh dari keluarga, dari suami/istrinya, pekerjaan yang melelahkan dan membosankan, hal-hal yang ia keluhkan setiap hari, tapi itu lebih baik daripada hidup tanpa jaminan, pikirnya.

Sekali lagi, memilih PNS untuk mendapatkan jaminan di masa tua adalah strategi yang bagus. Namun, kita tak bisa menggantungkan harap yang penuh pada hal ini. Bukan cuma PNS. Profesi apa pun. Tak bisa kita taruhkan seluruh harap kita di sana. Sebab kita tak tahu apa yang akan terjadi sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Jika kita memang ingin menjadikan ini sebagai jaminan di masa tua, maka kita juga harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan.

Maksudku, bagaimana jika ada perubahan aturan di masa depan karena satu-dua hal yang tak terelakkan? Apakah kamu masih mau memperjuangkan ini? Atau, jaminan masa tuanya saja yang kamu kejar?

Ada pun mengenai terjebak sistem, well, kita tak pernah bisa melawan sistem sendirian. Namun, kita butuh agen-agen perubahan. Kita butuh orang-orang yang terbuka pada inovasi. Dan, jika itu ada pada dirimu, pertahankan meskipun kamu terjebak dalam kenyamanan sebuah sistem, selama sistem itu halal dan baik. Agar kamu bisa mempertahankan sisi muda dalam dirimu. Sisi muda yang ingin berkembang, yang kemudian menjadi agen perubahan bagi generasi berikutnya yang ingin berada di tempatmu hari ini. Yang mungkin akan terinspirasi banyak darimu dan inovasi-inovasi yang kamu berusaha perjuangkan sejak muda. But that’s not going to be easy. Jika kamu punya motif yang kuat nan mulia, you’ll survive, anyway.

Lalu, kepalamu mendadak rumit oleh tali-tali abstrak, menlingkar, tersimpul mati.

Kayaknya berat juga, sih, jadi PNS, kalau aku melihat lebih jauh. Apalagi alasanku cuma sedangkal dapat jaminan di masa tua.

Jadi, kamu mencari pilihan lain.

Di depanmu, ada apartemen yang menjulang tinggi.
Kamu menengadahkan kepalamu. Di satu jendela, ada tirai yang sedang dibuka.

Enak banget tuh orang, masih di rumah jam segini.

Orang tersebut, seorang pemuda berpakaian necis meski hanya dengan kaus berkerah dan jeans seadanya, melangkah menuju balkon dengan segelas cangkir yang mengeluarkan asap. Oh, dia sedang menelepon seseorang, berbicara panjang lebar dengan senyum penuh percaya diri dan kesantaian yang luar biasa. Sekitar tujuh menit di balkon, dia kembali masuk.

Dia pengusaha kali, ya? Santai banget hidupnya.
Apa aku jadi pengusaha kali, ya? Mulai kecil-kecilan aja dulu. Pakai modal seadanya. Bikin apa, ya…
Ide belakanganlah, yang penting aku udah tau mau jadi apa; Pengusaha! Aku bakal memiliki kebebasanku. Aku bisa mengatur waktuku. Aku nggak perlu diatur sistem. Aku yang membuat sistem! Gajiku juga bisa lebih besar dari karyawan-karyawan ini. Aku juga nggak perlu terjebak dalam sistem dan kerjaan yang membosankan selama bertahun-tahun. Hitung-hitung, aku juga bisa membuka lapangan pekerjaan, membantu orang-orang. Sip, yakin aku mau jadi pengusaha, titik.

Dan, si sinilah kita sekarang. Tinggal di generasi di mana orang-orang berpikir; Menjadi karyawan itu menjemukan. Menjadi PNS itu lebih menjamin. Menjadi pengusaha adalah rockstar masa kini.

Seperti anak-anak kecil yang mendambakan menjadi YouTuber, orang-orang dewasa mendambakan menjadi pengusaha.

Tidak, tidak salah, memang. Semua orang berhak bermimpi apa pun yang dia mau. Tetapi, ketika kita bermimpi, kita hanya melihat bagian enak-enaknya saja. Kita bermimpi setinggi langit, tetapi kita lupa bahwa kita tak pernah punya sayap. Kita lupa menjadi realistis.

Menjadi pengusaha tak lantas berarti kita punya kebebasan. Malah, kita terjebak oleh waktu. Tak ada jam kerja sering kali  membuat kita kerja di laur waktunya. Tak ada job responsibility di  awal, sebab sebagai pengusaha dengan modal pas-pasan, mengharuskan kita mengerjakan hampir semuanya, sendiri, sampai-sampai pekerjaan seolah tak ada habisnya, 24 jam tak pernah cukup. Tak ada gaji yang tetap di setiap bulannya meningkatkan stress kita. Belum lagi saat kita sudah memiliki bawahan yang ikut berjuang bersama kita sekaligus menanti gaji di tiap bulannya.

Yah, di awal-awal aja yang begitu. Kalau sudah stabil, bakal lebih enak.

Kalimat itu mungkin ada benarnya. Tetapi, tak sepenuhnya benar.

Katakanlah, usaha kita telah berjalan sukses. Kita telah berhasil mendaki pohon, bergantung di puncak pohon. Di sana, angin berhembus makin kencang, posisi kita sudah tinggi, tetapi, sekaligus goyah. Dan, pohon senantiasa tumbuh, semakin tinggi. Kita tak bisa terus-terusan bergantung begitu. Kita butuh mendaki lagi. Ingat bagaimana Nokia merasa telah menguasai pasar ponsel. Ingat bagaimana Fuji telah menguasai pasar kamera. Ingat bagaimana Blackberry yakin akan posisinya pada pasar smartphone. Pohon terus tumbuh. Kita tak pernah benar-benar stabil. Sedetik terlambat, bisa berpengaruh banyak hal jika usahamu sudah begitu besar.

Namun, bukan berarti menjadi pengusaha juga buruk.

Ini cuma soal menjadi realistis.

Kita sering kali bermimpi, tetapi lupa realistis. Kita bermimpi setinggi langit, tetapi kita hanya melihat awan seputih kapas,  langit biru, taburan bintang, kita bahkan menutup mata dari kilat, petir dan meteor yang bisa jatuh kapan saja.

Kita perlu realistis.

Kita hanya melihat bagian yang menyenangkan.

Dan, hari ini, kepalamu semakin pening.

Jadi, mending mana? PNS, karyawan, atau pengusaha?

Maka, aku akan bertanya kembali; Dari semua penjelasan di atas, resiko mana yang lebih berani kamu amabil? Dan, kenapa begitu yakin?

Kalau boleh berbagi, saat ini, aku pribadi memilih karyawan. Aku merasa cocok menjadi karyawan karena aku suka belajar dari orang-orang yang lebih berpengalaman. Karena aku tahu kekuranganku, aku mungkin kurang disiplin, tetapi aku punya rasa sungkan yang lebih. Sehingga aku butuh seorang partner atau atasan, merasa sungkan saaat kerjaanku belum beres, jadilah aku bersemangat dalam bekerja. Tapi, aku tidak tahu beberapa saat nanti, yang pasti, kerjakanlah apa yang bisa kamu kerjakakan, apa saja, selagi apa yang kamu kerjakan itu baik dan halal.

Jadi begitulah, kamu pun harus mengenali kekurangan dan kelebihanmu. Terkadang, untuk tahu kekurangan dan kelebihan-kelebihanmu, kamu juga butuh mengotori tanganmu, membasahi langkahmu, mencoba apa yang kamu inginkan, mengikuti alur yang ada, sekaligus berpegang teguh pada kebenaran.

Lalu, nikmati prosesnya, sepeerti kata orang-orang.

Lalu, tentukan pijakan-pijakan berikutnya, bangun sayapmu, lalu terbanglah menuju mimpimu.

Tetapi, ingat-ingat selalu; Pilihlah yang halal, pastikan benar-benar mana pekerjaan yang baik dan halal. Agar rezeki yang kamu terima berkah. Dan, supaya… hati ini juga tenang.

Dan satu lagi; “Tak ada mimpi yang sempurna di dunia yang tak sempurna ini.”


Minggu, 10 Maret 2019

SEBELUM MENIKAH, SEBAIKNYA KAMU...


Kita tinggal di era ketika menikah muda menjadi sebuah tren.

Tak perlu jauh-jauh, bahkan di Instagram, begitu mudah kita menemukan sepasang suami-istri memamerkan kebahagiaan mereka melalui genggaman tangan atau pelukan sederhana, seakan berkata pada dunia, “Hai, semua, kita sudah halal, lho. “Lalu, begitu banyak akun media social mengejek para jomblo, dan begitu mudahnya kita mendengar teman-teman kita berkata, “Capek, Pingin nikah aja.”

Satu hal yang ingin kuklarifikasi: Aku sama sekali tidak menentang ide menikah muda. Bahkan, dalam agamaku, Islam, itu sesuatu yang dianjurkan.

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” HR. Al-Bukhari (no. 5066)

Dan, banyak lagi dalil yang menganjurkan kita untuk segera menikah.

Dan, aku percaya bahwa apapun yang Allah dan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) perintahkan pasti ada kebaikan di baliknya; yang mungkin belum kita ketahui hari ini.

Namun, hari ini, pasangan yang telah menikah muda cenderung pada mengunggah kemesraan mereka di media social, but, please, don’t judge them. Mereka mungkin belum menyadari bahwa itu tidak selalu menjadi keputusan yang tepat. Atau, mereka mungkin mempunyai alasan tersendiri. Atau, mereka mungkin sudah bertaubat atas kesalahan tersebut, berusaha tidak mengulanginya lagi, meski beberapa kali masih gagal, dan kita tidak mengetahui taubat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu. Doakan kebaikan untuk mereka.

Beberpa kali aku mengunjungi akun Instagram pasangan yang telah menikah muda atau akun-akun media social yang sedikit terlalu berlebihan dalam mendorong pemuda-pemudi menikah muda, lalu aku membuka salah satu postingan mereka dan melihat ratusan komentar di bawahnya.

Hasilnya? Kudapati bahwa…

Beberapa orang ingin menikah semata-mata hanya karena iri, baper, berharap melihat kemesraan yang mereka lihat cuma dari luar.

Beberapa ingin menikah hanya karena usianya sudah dua-puluh sekian.

Beberapa menikah hanya karena lelah hidup sendirian, sekolah, dan kuliah.

Dan beberapa alasan klasik lainnya.


Jadi, Apakah alasanmu menikah?

Apakah kamu menikah hanya karena cinta?

Jika kamu menikah hanya Karena cinta, apakah kamu akan bercerai hanya karena tak cinta ingat, cinta itu hanya perasaan, sebagaimana kebahagiaan dan kesedihan, kadang ia datang, kadang ia pergi, jangan pernah jadikan sesuatu yang sementara sebagai alasan.

Atau, jangan-jangan kamu menikah hanya karena si calon pasangan itu? Ingat, manusia tidak hidup selamanya. Jangan jadikan calon pasanganmu, yang belum menjadi apa-apamu, sebagai pengontrol hidupmu. Dia akan bertemu mautnya, dan kau mungkin akan tinggal sendiri. Bagaimnana jadinya setelah itu? Jadi, coba pikirkan lagi, megapa kamu mau menikah?
Kau mungkin butuh referensi alasan menikah yang baik.

Alasan menikah yang terbaik:

“Menikah karena Allah. Murni karena Allah.”

Seperti, karena khawatir terjerumus pada zina dan maksiat-maksiat serupa yang mendekatkanmu pada zina.

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” HR. Al-Bukhari (no. 5066)

Atau, seperti, karena berharap menyempurnakan separuh agama.

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

Atau, seperti, karena berharap memiliki anak-anak yang shalih yang dapat mendoakanmu, yang mudah-mudahan dapat menyelamatkanmu dalam kehidupan akhirat.

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau doa anak yang shalih. “(HR. Muslim no. 1631)

Sematkan ini kuat-kuat di hatimu. Jangan hanya jadi ucapan di bibir. Mohon bantuan Allah agar niatmu menikah bisa lurus murni karena-Nya. Dan, niat yang murni karena-Nya adalah pengharapan pahala dan ampunan, yang berujung pada kehidupan akhirat yang baik.

Sekarang, mari kita bicara soal harga diri dan kewibawaan.

Sebelumya, untuk kamu yang memutuskan tidak berpacaran, tolong, jangan merasa kamu lebih baik dari mereka yang sedang berpacaran. Iya, kamu memang terselamatkan dari perbuatan yang dilarang. Tetapi jika, di lubuk hati terdalammu, kamu merasa lebih baik dari mereka, merendahkan mereka secara perseorangan, hati-hati, itu bisa berujung pada ujub dan kesombongan. Tentu, itu sama sekali tak baik.

Sekarang, poin paling penting: Kejaminannya.

Dan, di sinilah batas di mana kita menyadari:
Kita cuma manusia, apapun pilihan kita, kita tak bisa melihat masa depan, kita tidak bisa menjamin keberhasilannya.

Maka, sebelum dan sesudah kamu mengerahkan usahamu, berdoalah. Terus berdoa. Hanya kepada Allah, Tuhan Pencipta Alam Semesta, tak ada sekutu bagi-Nya.

Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah sebaik-baik Sandaran.

Dan, karena kita telah menjadikan Allah sebagai sebaik-baiknya penolong, maka ikutilah apa yang Allah peintahkan dan Rasulullah (shalallahu ‘alaihi wasallam ajarkan). Insya Allah.

Dijamin, jika kamu mengikuti aturan-Nya, Allah akan memberimu ketenangan yang Dia janjikan. Insya Allah.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. “ [QS. Ar. Ruum (30):21].


Setelah menikah, dia…

“Capek. Pengen. Nikah. aja”

Tulisan-tulisan dan kata-kata yang paling sering kita lihat dan kita dengar yang intinya: Aku lelah. Aku ingin menikah. Aku ingin hidup enak.

Kita bisa memahami itu.
Tetapi, maaf, jika kamu merasa lelah dengan tugas-tugas harianmu, lalu tiba-tiba merasa menikah adalah solusi untukmu, kurasa, kamu belum siap menikah. Jadi, kembalilah kerjkan tugas-tugasmu. Lalu, tenangkan pikiranmu. Dan, jangan melihat menikah sebagai solusi dari kelelahanmuu saat ini.
Sebab menikah bukanlah solusi dari kelelahanmu.

Kenyataannya, menikah akan semakin melelahkanmu.

Menikah, bagi laki-laki, adalah bangun pagi-pagi, melawan kemacetan demi menafkahkan sang istri dan anak-anak, berlamah lembut kepada istri dan anak-anak meskipun penat sepulang kerja.

Menikah, bagi wanita, adalah berusaha patuh kepada suami dengan baik dan benar, sepeti menyiapkan kebutuhan suami yang akan berangkat mencari nafkah, berusaha memprioritaskan waktu bersama keluarga meski sedang berkarir, menjaga kehormatannya kala ditinggal sendirian, dan mengikuti kesepakatan-kessepakatan yang telah dirundingkan dan disetujui bersama suami.

Menikah adalah menyadari, menerima, dan besabar bahwa prioritas utama sang suami adalah orangtuanya; sementara prioritas utama sang istri adalah suaminya.

Menikah, bagi laki-laki, adalah tetap berusaha adil kepada semua pihak: Orangtua yang menjadi prioritas utamanya; serta istri dan anak-anak yang menjadi tanggungjawabnya.

Menikah, bagi wanita, adalah memahami bahwa nafkah dari suamimu bukanlah untuk memenuhi keinginanmu semata, melainkan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Bisakah kamu mengelolanya dengan baik? Bisakah kamu merelakan keinginan-keinginanmu untuk membeli tas baru, kosmetik, dan sepatu baru?

Menikah adalah bersabar pada hal-hal yang tidak kau sukai dari pasanganmu.

Menikah adalah berusaha keras menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak disukai pasanganmu.

Menikah adalah senatiasa memikirkan perasaan dan kondisi pasangan di setiap keputusan yang kau ambil.

Menikah adalah menyatukan dua kepala yang berbeda, meski salah satu di antaranya harus merelakan mimpinya; sebagaimana sang suami harus rela melepas mimpinya untuk menafkahi keluarga; atau, sebegaimana sang istri harus rela melepas mimpinya untuk mewujudkan kehidupan untuk sang anak. Namun, tentu, lebih baik jika mimpi-mimpi yang direlakan tersebut mewujud mimpi-mimpi baru.

Menikah adalah memperbanyak stok maaf.

Menikah adalah menyadari bahwa misi utama syaitan adalah memisahkan kalian berdua.

Menikah adalah menyadari bahwa perasaan cinta tidak selalu hadir, lalu berusaha bertahan, dan menumbuhkan perasaan itu lagi. Sebab sebagaimana perasaan-perasaan lain; kadang cinta datang, kadang cinta pergi.

Menikah adalah berusaha saling memahami kala egois menerjang.

Menikah adalah bersabar menanti kedatangan bayi pertama.

Menikah adalah bersabar bangun di tengah malam, berulang kali, untuk bayimu yang tak henti-hentinya menangis.

Menikah adalah menjadi guru pertama bagi anak-anak yang kau lahirkan dengan penuh kesabaran; guru kehidupan dalam segala hal: belajar berbicara, belajar berkomunikasi, belajar berjalan, belajar buang air di toilet, belajar menghadapi taman baru, belajar menghadapi hari pertama di sekolah, belajar membaca, belajar menulis, belajar berhitung, belajar mengenali diri sendiri, membimbingnya ke dalam Islam, dan pelajaran-pelajaran yang tak akan habisnya ditulis di sini.

Dan, menikah adalah… hal-hal yang tak akan cukup tertulis pada sebuah buku.

Namun, lebih penting dari itu semua, menikah adalah berusaha menyelamatkan keluarga dari panasanya api neraka.

“Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa-apa  yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang deperintahkan.” [at-Tahrim/66:6]

Dan, “menyelamatkan keluarga dari api neraka” tidak sesederhana saling mengingatkan sholat.

Suami dan istri harus saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran, seperti…

Apakah kita sudah mentauhidkan Allah dengan benar?

Apakah kita sudah menyembah Allah dengan benar?

Apakah tujuan hidup kita adalah akhirat?

Apakah gerakan dan bacaan sholat mereka sudah benar? Apa buktinya?

Apakah cara berwudunya sudah benar? Apa buktinya?

Apakah sumber nafkah ini halal? Apa buktinya?

Adakah pinjaman atau pembelian yang terkontaminasi oleh riba?

Sudahkahh kita menuntut ilmu hari ini?

Sudahkah kita memperlakukan satu sama lain dengan benar?

Apakah seluruh amalan yang telah dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah? Apa buktinya?

Dan, apakah-apakah lainnya… sudahkan itu benar?

Dan, ada satu kekeliruan yang sering terjadi antara suami dan istri dalam menunaikan ibadah salat. Sang istri teramat berharap bahwa sang suami akan mengimaminya salat Magrib. Sesekali saja. Dan, sayangnya, sang suami, dengan santainya, mengiyakan ajakan istri. Padahal, sang suami, sebagai laki-laki, diwajibkan sholat di masjid, kecuali ada uzur. Sedangkan sholatnya wanita lebih utama di rumah, meski tidak dilarang jika dia ingin ikut ke masjid, asalkan dengan penampilan ang tepat.

Jadi, jika harus menyandingkan sekolah, kuliah, kerja dengan pernikahan pada suatu garis yang sama, sesungguhnya sekolah, kuliah, kerja hanyalah seluas ujung jari. Belum ada apa-apanya. Sekolah dan kuliah berujung pada kelulusan. Kerja berujung pada penerimaan gaji tiap waktunya. Pernikahan berujung pada apa?

Yaah, pernikahan tidak berujung; ia adalah ibadah seumur hidup; ia bisa jadi melelahkan; namun, orang-orang yang niatnya lurus ingin menikah semata-mata hanya karena Allah, mereka akan menikmatinya, sebagaimana mereka bisa menikmati kehidupan mereka sebelum menikah. Tentunya, dengan kenikmatan yang baik dan benar.

Dan, mereka yang ingin menikah karena lelah dan bosan dengan kondisi saat ini, tiga atau lima tahun setelah menikah, mereka akan mengeluhkan hal yang sama, “Kok gini-gini aja, ya? Duh, kok nyesel harus nikah secepat ini. Capek gini terus. Mending sendirian ajalah.”

Jadi, jika kamu masih berada di bangku sekolah dan kuliah, anggap fase ini sebagai tantangan. Kalau hal sesepele sekolah dan kuliah saja sudah mau menyerah, bagaimana menikah yang lebih rumit nanti? Apakah kamu sudah bisa bersabar pada tugas-tugas yang menumpuk? Apakah kamu sudah bisa mengelola waktumu baik-baik?

Jika kamu masih bekerja, anggap fase ini sebagai pengembangan diri sebelum berumah tangga nanti. Bagaimana kamu bersosialisasi dengan orang, bagaimana kamu bertindak professional, bagaimana kamu mengumpulkan pengalaman untuk diceritakan pada anak-anakmu kelak, bagaimana kamu menerima gaji dan belajar mengelola uang.

Tetapi, jangan melihat sekolah, kuliah, kerja pada sudut pandang menikah saja yaa…

Sebab, fase sekolah, kuliah, dan kerja tidak sedangkal itu.

Lihatlah lebih luas. Bahwa dengan ilmu yang kau miliki hari ini, bisa kau gunakan untuk memberi manfaat pada orang lain, bisa kau gunakan sebagai pengembangan dirimu secara personal, bisa kau gunakan untuk menemukan sesuatu, bisa kau jaadikan sebuah pengalaman yang kelak kau tuliskan dalam sebuah buku, yang pada akhirnya bisa kau jadikan sebagi amal jariyah.

Jangan jadikan menikah sebagai patokan.

Karena kehidupan tidak berputar pada pernikahan semata.

Bahkan beberapa meninggal sebelum menikah.

Jadi, amalkan kebaikan untuk hal yang lebih pasti dari pernikahan.

Dan, aku ingin kamu tahu: Aku menghargai dan mendukung keinginanmu untuk menikah muda, sungguh itu keinginan yang baik. Tetapi, tolong, luruskan niatmu.





Sumber:
Al-qur'an dan hadist
alvisyhrn
annisarzkaa